Pada tahun 1930-an, Walter Pitkin menulis sebuah buku best seller berjudul Life Begins at Forty. Buku tersebut
mendapat sambutan positif masyarakat Amerika Serikat karena membuka cara
pandang mereka tentang kehidupan. Hidup seseorang tidak berhenti pada usia 40
tapi sejatinya baru saja dimulai. Kehidupan mulai mapan, sudah punya anak,
rumah ada, dan koneksi mulai terbentuk secara massive. Pendek kata, rona keberhasilan mulai membuncah ke
permukaan.
Bagi banyak orang, sang guru pun kebanyakan mulai terlihat
berwibawa dan berkharisma pada usia 40 –an. Segala perkataannya mulai terasa
berdentum kencang di sanubari pendengarnya bila dibandingkan dengan ceramah seorang
guru muda yang baru lulus kuliah pendidikan. Meskipun esensinya nisbi, namun
orang lebih suka mendengar bunga-bunga teori kalimat berwibawa dari seorang
guru yang berpengalaman ketimbang pengajaran penuh inovasi dari seorang guru
belia.
Guru muda sering mendapat perlakuan minor. Bukan karena
kemampuannya mengajar tapi pada usia yang melekat padanya. Dahulu saya
bahkan sempat dipanggil Mas Guru oleh
seorang wali murid saat program tatap muka antara orang tua dan guru
berlangsung. Sungguh ...! Masukan yang diberikan oleh wali murid tersebut memang mengandung
kebenaran, namun saya geli juga saat beliau memanggil saya dengan sebutan
seperti itu.
Dua millennium yang
lalu, ada seorang guru berusia 30 tahunan yang mencoba meniti karir di tengah
masyarakat Yahudi. Namanya adalah Yesus. Pengajarannya sederhana namun mendobrak kemunafikan.
Perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan sangat kreatif, inovatif, dan penuh
solusi. Ia dupuja massa melebihi seorang idol
dari sebuah ajang pencarian bakat, namun dicela banyak orang. Bukan karena Ia
cacat moral tapi karena Ia masih berusia muda. “Siapakah Dia ini? Ngomongnya fals banget. Bukankah Ia ini
anak seorang tukang kayu?” begitu pikir para pengajar Yahudi yang pro status quo pada waktu itu.
Kita hidup di tengah masyarakat yang mirip dengan masyarakat
di mana Yesus pernah tinggal berdiam. Sebuah masyarakat yang masih menganggap
senioritas lebih penting dari dari sebuah kretivitas. Bila hal ini tidak segera
dibenahi, maka guru-guru muda akan tetap terkungkung dalam nuansa keminderan
tak bertepi sambil menanti kharisma dan kewibawaan akan datang menghampiri saat
usia mulai bertambah. Akahkah seperti itu? Jika hal itu benar, betapa malangnya
Indonesia.
Sejatinya bangsa ini memerlukan guru-guru yang berani berkata
benar. Guru-guru yang tidak tinggal diam saat contekan massal Ujian Nasional
menggelora. Guru-guru yang tidak rela menukar idealisme kebenaran di bawah
ketiak kepentingan sesaat.
Saya pikir bukanlah sebuah kebetulan bahwa Yesus mengambil
rupa seorang muda saat berkarya di muka bumi ini. Orang muda itu sumbernya
kreativitas dan energi. Jadi sangatlah mengherankan bila kita harus menunggu
sampai berusia 40 tahun baru kemudian bisa mengatakan bahwa kehidupan baru saja
dimulai. Kehidupan adalah saat ini.
Orang bijak pernah mengatakan bahwa masa lalu adalah sejarah
dan masa depan adalah sebuah misteri, namun hari ini adalah sebuah anugrah.
Bila kita sebagai guru sadar bahwa hari ini adalah anugrah yang Tuhan berikan
buat kita untuk berkarya mewarnai dunia, mengapakah kita masih mengajar dengan
asal-asalan?