Minggu, 29 April 2012

LIFE BEGINS AT FORTY


Pada tahun 1930-an, Walter Pitkin menulis sebuah buku best seller berjudul Life Begins at Forty. Buku tersebut mendapat sambutan positif masyarakat Amerika Serikat karena membuka cara pandang mereka tentang kehidupan. Hidup seseorang tidak berhenti pada usia 40 tapi sejatinya baru saja dimulai. Kehidupan mulai mapan, sudah punya anak, rumah ada, dan koneksi mulai terbentuk secara massive. Pendek kata, rona keberhasilan mulai membuncah ke permukaan.

Bagi banyak orang, sang guru pun kebanyakan mulai terlihat berwibawa dan berkharisma pada usia 40 –an. Segala perkataannya mulai terasa berdentum kencang di sanubari pendengarnya bila dibandingkan dengan ceramah seorang guru muda yang baru lulus kuliah pendidikan. Meskipun esensinya nisbi, namun orang lebih suka mendengar bunga-bunga teori kalimat berwibawa dari seorang guru yang berpengalaman ketimbang pengajaran penuh inovasi dari seorang guru belia.

Guru muda sering mendapat perlakuan minor. Bukan karena kemampuannya mengajar tapi pada usia yang melekat padanya. Dahulu saya bahkan sempat dipanggil Mas Guru oleh seorang wali murid saat program tatap muka antara orang tua dan guru berlangsung. Sungguh ...! Masukan yang diberikan oleh wali murid tersebut memang mengandung kebenaran, namun saya geli juga saat beliau memanggil saya dengan sebutan seperti itu.

Dua millennium yang lalu, ada seorang guru berusia 30 tahunan yang mencoba meniti karir di tengah masyarakat Yahudi. Namanya adalah Yesus. Pengajarannya  sederhana namun mendobrak kemunafikan. Perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan sangat kreatif, inovatif, dan penuh solusi. Ia dupuja massa melebihi seorang idol dari sebuah ajang pencarian bakat, namun dicela banyak orang. Bukan karena Ia cacat moral tapi karena Ia masih berusia muda. “Siapakah Dia ini? Ngomongnya fals banget. Bukankah Ia ini anak seorang tukang kayu?” begitu pikir para pengajar Yahudi yang pro status quo pada waktu itu.

Kita hidup di tengah masyarakat yang mirip dengan masyarakat di mana Yesus pernah tinggal berdiam. Sebuah masyarakat yang masih menganggap senioritas lebih penting dari dari sebuah kretivitas. Bila hal ini tidak segera dibenahi, maka guru-guru muda akan tetap terkungkung dalam nuansa keminderan tak bertepi sambil menanti kharisma dan kewibawaan akan datang menghampiri saat usia mulai bertambah. Akahkah seperti itu? Jika hal itu benar, betapa malangnya Indonesia.

Sejatinya bangsa ini memerlukan guru-guru yang berani berkata benar. Guru-guru yang tidak tinggal diam saat contekan massal Ujian Nasional menggelora. Guru-guru yang tidak rela menukar idealisme kebenaran di bawah ketiak kepentingan sesaat.

Saya pikir bukanlah sebuah kebetulan bahwa Yesus mengambil rupa seorang muda saat berkarya di muka bumi ini. Orang muda itu sumbernya kreativitas dan energi. Jadi sangatlah mengherankan bila kita harus menunggu sampai berusia 40 tahun baru kemudian bisa mengatakan bahwa kehidupan baru saja dimulai. Kehidupan adalah saat ini.

Orang bijak pernah mengatakan bahwa masa lalu adalah sejarah dan masa depan adalah sebuah misteri, namun hari ini adalah sebuah anugrah. Bila kita sebagai guru sadar bahwa hari ini adalah anugrah yang Tuhan berikan buat kita untuk berkarya mewarnai dunia, mengapakah kita masih mengajar dengan asal-asalan?