Senin, 20 Agustus 2012

Catatan Lebaran Tahun Ini

Meskipun bukan muslim, keluarga mertua saya sudah bersiap dengan pelbagai hidangan khas Lebaran. Ada opor ayam, ketupat, dan beraneka macam kue-kue. Kami sekeluarga memang Kristen, tapi satu hal yang pasti bahwa suasana Lebaran pun turut mempengaruhi keluarga kami.

Seperti halnya pada malam Natal, kami juga turut bergembira di malam takbiran. Suasana riuh rendah gemuruh takbir dari masjid-masjid, mushalla, maupun surau yang berpadu dengan dentuman petasan dan kembang api benar-benar memeriahkan suasana. Semua orang bersukacita. Tua, muda, besar, kecil, semuanya larut dalam kegembiraan hari kemenangan. Kami memang bukan muslim, tapi ada kegembiraan yang terpancar di hati kami. Kami turut gembira karena saudara-saudara kami tengah bergembira. Meskipun berbeda iman, kegembiraan mereka juga turut kami rasakan.

Indahnya kebersamaan. Itulah risalah sederhana yang menjadi  tema sentral dalam kehidupan pluralisme. Bangsa ini bermacam-macam. Dari dulu memang sudah begitu. Bahkan sesama muslim pun juga memiliki pandangan teologi yang berbeda. Indonesia memang harus bersatu tapi tidak perlu lah kita menghilangkan kebhinekaan yang ada. Teman saya yang muslim pernah bilang bahwa sejak semula memang Allah SWT menciptakan manusia itu berbeda-beda. Jadi kalau begitu, kebhinekaan Indonesia memang sesuai dengan isi hati Tuhan, bukan?

Hidup di tengah bangsa yang majemuk memang mengharuskan kita untuk bertoleransi.  Saya yang mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, tidak boleh jadi galau bila ada orang yang bilang bahwa Wisnu atau Siwa adalah Dewa yang Agung. Pihak-pihak yang percaya bahwa  tiada Tuhan selain Allah juga nggak boleh ngamuk-ngamuk bila ada orang yang menegaskan bahwa ada lho Tuhan selain Allah.

Umat Katolik juga harus mengerti bila saat misa siang di gereja yang seharusnya khidmat dan tenang tiba-tiba diselingi oleh suara bedug dan adzan dari masjid yang jaraknya tidak seberapa jauh. Muslim yang tinggal di Bali pun juga harus tepa selira saat momen Nyepi tiba dan seharusnya para pengunjung Borobodur juga tidak boleh iseng terhadap stupa dan patung Sidharta yang ada di sana.
Hidup dalam kebhinekaan bukan berarti menghilangkan akidah yang kita percaya. Harus tetap ada sisi khas dalam diri kita masing-masing yang harus kita pertahankan. Kita tidak perlu menjadi orang lain atas nama pluralisme untuk sekadar menyenangkan hati teman yang kebetulan berbeda mahzab dengan kita. Tahun ini, Idul Fitri jatuh bertepatan di hari Minggu. Yang berlebaran silahkan melaksanakan shalat Id, sedangkan yang bertuhankan Yesus tetap melakukan ibadah di di gereja.



So, hidup dalam pluralisme? Siapa takut ....
Selamat Idul Fitri bagi yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin.