Selasa, 30 April 2013

AKU GURU, MAKA AKU MENULIS


Menulis itu kontemplasi. Dengan menulis, kita merangsang, memacu, dan menuangkan pemikiran kita dalam bentuk tulisan. Pada awalnya memang butuh energi berlebih. Pusing dan penat kadang juga turut menyertai. Terutama bila kita merasa miskin ide dan gagasan. Namun sebenarnya ide dan gagasan itu bertebaran di sekeliling kita. Bila kita mampu mengaisnya, menulis bisa menjadi suatu aktifitas yang menyenangkan.

Guru itu perlu menulis. Dengan menulis berarti guru tidak membiarkan dirinya menjadi budak kurikulum yang sering berganti seirama dengan naik turunnya Bapak Menteri. Guru menjadi insan merdeka yang bebas berkreasi dalam bahasa tulisan. Tulislah apa saja. Tak perlu menunggu sekaliber Pramoedya Ananta Toer atau pun Andrea Hirata untuk berani menulis. Guru ya guru dan tidak berdosa apabila sang guru berkenan untuk menulis.

Masa hidup guru di dunia ini memang ada batasnya. Namun tulisan yang telah dibuat oleh guru akan terus bergema melintasi zaman. Menjadi inspirasi dari generasi ke generasi. Tulislah tentang kehidupan. Tulislah tentang keindahan sastra. Beranilah menulis tentang politik dan olahraga. Tuangkanlah pengalamanmu saat berhadapan dengan siswa yang berdiri di tepian jurang kegagalan. Kisahkanlah kepiawaianmu dalam memasak, merancang komponen listrik dan elektronika, atau pun dalam bermusik. Menulislah tentang metode pengajaran baru nan kreatif ala dirimu sendiri. Janganlah pernah minder dengan Einstein bila harus menulis tentang prespektif lain dari teori relativitas. Tidak usah merasa sungkan dengan Picasso, Pascal, Rumi, Sukarno, Gandhi, atau pun Bambang Pamungkas, bila tulisanmu berbenturan dengan alam berpikir mereka. Dan bila perlu, tulis sajalah tentang kecurangan berjamaah seputar Ujian Nasional yang terjadi setiap tahun yang dipampang secara nyata dan cetar membahana di depan pemandanganmu.

Komedian Bill Cosby pernah menyatakan bahwa ia tidak mengetahui kunci kesuksesan. Namun satu hal yang ia tahu bahwa kunci kegagalan adalah berusaha menyenangkan semua orang. Tulisan guru mungkin tidak mampu memuaskan dan menyenangkan semua orang. Tulisan guru mungkin akan diedit karena terlalu berani mengungkapkan fakta. Mungkin juga akan dicibir karena dianggap ngawur dalam segi kebahasaan. Dianggap sesat karena terlalu melompat jauh melintasi dimensi berpikir orang kebanyakan. Atau bahkan dibredel dan tidak pernah diterbitkan karena miskin potensi meraih keuntungan secara finansial.

Oh my goodness ....ribet amat mau menulis! Tinggal tulis saja maka tulisanmu jadi!


Minggu, 21 April 2013

Dari Choo Seng Quee Hingga Jacksen Tiago, Pelatih Asing Merah-Putih Dari Masa Ke Masa

Sejarah kepelatihan timnas Indonesia banyak diwarnai dengan nama-nama asing. Dimulai dengan Choo Seng Quee hingga Jacksen Tiago. Semua didatangkan dengan ekspektasi melebihi kualitas lokal karena pelatih asing diharapkan mampu mengangkat performa tim yang sudah ada. Tak jarang pula pelatih yang ditunjuk harus membangun kerja kerasnya dari nol mengingat bekal dasar kemampuan bermain serta strategi pemain tanah air terbilang minim. Tak jarang pula keraguan menyertai kedatangan sang pelatih.
Sepanjang sejarah, PSSI telah menunjuk 17 pelatih asing untuk menangani tim Merah-Putih. Selain berstatus asing, Choo Seng Quee asal Singapura juga merupakan pelatih pertama timnas Indonesia usai era kemerdekaan. Pelatih kawakan yang kerap disapa Paman Choo ini menangani tim Merah-Putih pada 1951 hingga 1953. Tidak cuma itu, Paman Choo barangkali satu-satunya pelatih yang pernah menangani tiga negara serumpun, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura, sepanjang periode kepelatihannya. Pelatih ini dikenal punya kedisiplinan tinggi dan membawa Indonesia ke turnamen internasional pertama, yaitu Asian Games 1951.

Tongkat kepelatihan Paman Choo beralih ke seorang pria kurus asal Yugoslavia bernama Antun "Toni" Pogacnik. Kedatangan Pogacnik ke Indonesia pada 1954 tak lepas dari campur tangan Pemerintah Indonesia yang menjalin hubungan baik dengan Pemerintah Yugoslavia di bawah pemerintahan Marsekal Josef Broz Tito. Hingga kini nama Pogacnik terus dikenang publik sebagai salah satu pelatih terbaik yang dimiliki Indonesia. 
Prestasi Pogacnik bersama Merah-Putih naik turun. Terbaik ketika merebut medali perunggu Asian Games 1958 dan kemudian tersisih di Asian Games 1962 di fase grup meski bermain di Jakarta. Pogacnik pernah menangis ketika para pemain Indonesia ditahan kepolisian akibat terkena skandal suap pada persiapan Asian Games 1962. Pogacnik juga tercatat sebagai pelatih terlama yang pernah menangani timnas Indonesia sampai saat ini. Tercatat sembilan tahun yang dihabiskannya duduk di bangku teknik tim Merah-Putih sampai wafat dan dikebumikan di tanah Indonesia pada 1963.



Pelatih asing berikutnya baru datang berselang 12 tahun berselang. Juru taktik yang datang pun bukan main-main karena berstatus sebagai pelatih top dari Feyenoord Rotterdam, Wiel Coerver. Tugas utama Coerver adalah membawa Indonesia lolos dari kualifikasi Olimpiade Montreal 1976. Hampir saja tugas itu dijawab dengan sempurna ketika Indonesia tinggal melewati Korea Utara pada babak play-off Grup 2. Sayangnya, di depan pendukung yang memadati stadion Senayan, adu penalti menggagalkan ambisi itu.
Sukses Coerver meretas jalan bagi kedatangan Frans van Balkom pada 1978 untuk menangani tim Indonesia di SEA Games yang digelar di kandang sendiri setahun berselang. Tugas Van Balkom memperbaiki pencapaian Indonesia yang hanya menempati peringkat empat pada debut SEA Games di 1977. Tapi, pasukan Van Balkom cuma mampu meraih medali perak setelah dikalahkan Malaysia lewat gol Mokhtar Dahari.




Anatoli Polosin disambut dengan keraguan ketika ditunjuk melatih timnas Indonesia pada 1987. Sebelumnya, jasa dua pelatih asing digunakan PSSI tanpa mendatangkan hasil, yaitu Marek Janota dan Bernd Fischer. Belum lagi menyebut nama-nama seperti Joao Barbatana yang menangani tim yunior Indonesia lewat proyek Garuda pada awal 1980-an dan Josef Masopust yang datang dari Cekoslowakia guna melatih para Garuda Muda pada 1988 hingga 1991. Pendekatan Eropa Timur ala Polosin dicibir banyak pengamat jelang SEA Games 1991. Apalagi metode pelatih asal Uni Soviet itu tak juga mendatangkan hasil bagus pada awal periodenya.
Pendekatan latihan fisik yang berat membuat sejumlah pemain andalan tidak turut serta dalam tim SEA Games 1991. Namun, kerja keras Polosin rupanya berbuah emas. Kebugaran stamina pasukan Merah-Putih tak tertandingi meski harus bertanding dua kali 120 menit di semi-final dan final. Singapura dan Thailand berhasil ditundukkan melalui adu penalti sehingga Indonesia sukses merebut emas kedua sepanjang sejarah SEA Games. Sayangnya, hingga kini prestasi itulah yang belum dapat disamai generasi-generasi berikutnya.

Mirip seperti sukses yang ditimbulkan Coerver, sepenghabisan Polosin PSSI menunjuk pelatih asal Eropa Timur lainnya guna menangani timnas, yaitu Ivan Toplak. Pelatih asal Yugoslavia itu punya tugas utama memimpin Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 1994. Kali ini metode Eropa Timur tak berhasil. Indonesia terhenti di babak tersebut dan dengan ditambah kegagalan mempertahankan medali emas di SEA Games 1993, kursi kepelatihan Toplak tak bertahan lama.

Kursi Toplak digantikan Romano Matte, pelatih Italia pertama dan hingga kini satu-satunya yang dimiliki Indonesia. Matte didatangkan setelah terlebih dahulu menangani tim Indonesia yang mengikuti kompetisi Primavera di Italia. Sama seperti para pelatih pendahulunya, misi Matte lagi-lagi memperjuangkan emas SEA Games di 1995. Meski mencetak rekor kemenangan terbesar sepanjang sejarah partisipasi SEA Games,  dengan melibas Kamboja 10-0, tetapi Indonesia tak mampu lolos dari Grup A setelah disingkirkan Vietnam.

Perubahan pelatih kembali dilakukan PSSI guna menyongsong SEA Games 1997 yang digelar di Jakarta. Henk Wullems menjadi juru taktik asing berikutnya berkat keberhasilan membawa Bandung Raya secara mengejutkan menjuarai liga Indonesia. Didukung kombinasi pemain antargenerasi, Wullems menyajikan permainan tim yang menyerang dan atraktif. Indonesia masuk final secara meyakinkan, tetapi harus menyerah di kaki Thailand lewat adu penalti.

Tugas Bernard Schumm sempat dialihfungsikan dari direktur teknik menjadi pelatih ketika Indonesia mengikuti SEA Games 1999. Periode tugas pelatih asal Jerman ini pun tak bertahan lama seiring kegagalan Indonesia di ajang tersebut. Tiga tahun berselang, PSSI kembali menengok Eropa Timur dengan mendatangkan Ivan Kolev, pelatih yang punya resume menangani timnas yunior Bulgaria.

Kolev mengukir kemenangan mengejutkan ketika Indonesia menumbangkan Qatar 2-1 di Piala Asia 2004. Kekalahan tersebut menyingkirkan Philippe Troussier dari jabatan pelatih Qatar, tetapi ternyata tak juga menjamin stabilitas posisi Kolev. Usai turnamen, tugas Kolev digantikan pelatih yang memiliki catatan sukses lebih baik, yaitu Peter Withe.

Perubahan besar pertama yang dilakukan Withe adalah mengubah kebiasaan bermain tim Indonesia dengan tiga bek tengah menjadi formasi 4-4-2. Withe juga mengeluhkan kemampuan para pemain Indonesia yang tidak memiliki teknik dasar sepakbola yang baik. Butuh waktu menerjemahkan keinginannya sampai akhirnya Indonesia di tangan Withe tampil mencengangkan di Tiger Cup 2004.
Ilham Jayakesuma dan Boaz Solossa menjadi bintang tim saat itu sehingga untuk sejenak publik dapat melupakan figur Bambang Pamungkas yang tidak dipanggil mengikuti turnamen. Indonesia tak terbendung di babak penyisihan. Di semi-final, Indonesia dikalahkan Malaysia 2-1 di Jakarta, tetapi melancarkan balas dendam yang dahsyar di Kuala Lumpur dengan skor 4-1. Namun, sejarah kembali berulang. Euforia publik Indonesia gagal menemui puncak setelah harus menyerah di kaki Singapura di babak puncak.






Kursi kepelatihan Withe hanya bertahan usai Kejuaraan AFF 2007 setelah gagal lolos dari fase grup meski tampil tak terkalahkan. Pergantian itu sempat dipertanyakan karena Piala Asia yang digelar di Indonesia, selain di Thailand, Malaysia, dan Vietnam, tinggal hitungan waktu. Untuk mengakalinya, PSSI menunjuk pelatih asing yang sudah mengenali karakter sepakbola tanah air, yaitu Kolev.
Kali ini Kolev sudah lebih percaya diri dan kian fasih berbahasa Indonesia. Dibantu persiapan turnamen dengan meliburkan kompetisi beberapa bulan sebelum dimulai, Kolev menyusun kekuatan. Tak banyak yang optimistis, tetapi ketika Indonesia mampu mengalahkan Bahrain 2-1 di laga pembuka, perhatian publik mulai tersita. Meski kemudian gagal melangkah ke babak delapan besar, penampilan Indonesia terbilang memuaskan karena "hanya" kalah tipis dari dua raksasa Asia, Arab Saudi dan Korea Selatan.

Pelatih asing berikutnya yang menangani Indonesia adalah Alfred Riedl pada 2010. Mirip skema saat mendatangkan Withe, PSSI memilih figur pelatih asing yang sudah punya catatan bagus di kawasan Asia Tenggara. Pilihan itu jatuh kepada Riedl yang membuat Vietnam disegani.
Indonesia dilibas Uruguay 7-1 pada laga persiapan AFF Suzuki Cup tahun itu, tetapi Riedl mampu membangun kekuatan tim yang memesona publik. Setelah 2007, gairah kembali muncul. Kali ini dengan skala yang lebih besar. Indonesia tak terbendung dan selalu menang di fase grup serta dua leg semi-final. Di babak puncak, Indonesia bertemu lagi dengan Malaysia yang digilas 5-1 di fase grup.
Tingginya gairah publik rupanya mengurangi fokus tim. Seolah-olah tim sudah juara tanpa perlu memenangi final dan dengan lawan "hanya" Malaysia. Indonesia akhirnya kalah secara mengejutkan di Bukit Jalil dan tak mampu mengatasi defisit agregat di leg kedua. Posisi Riedl masih aman karena tim ditargetkan untuk menembus final, bukan juara. Namun, seiring pergantian kepemimpinan PSSI pada pertengahan 2011, secara mendadak posisi Riedl dicopot dan digantikan Wim Rijsbergen. Itulah keputusan pertama Djohar Arifin Husin sebagai pengganti Nurdin Halid.

Posisi Rijsbergen tak bertahan lama. Tak populer di mata media, publik, serta para pemain, Rijsbergen dilengserkan dengan mempasifkannya di posisi direktur teknik. Jabatan pelatih sepanjang sisa kualifikasi Piala Dunia 2014 dipegang Aji Santoso untuk sementara dan kemudian dilanjutkan oleh Nil Maizar hingga AFF Suzuki Cup 2012. Sehari setelah anak asuh Nil tumbang di kaki Irak 1-0 di kualifikasi Piala Asia 2015, Djohar mendadak melakukan pergantian pelatih dengan menunjuk pelatih yang benar-benar asing, Luis Manuel Blanco.

Blanco menjadi pelatih asal Amerika Selatan pertama yang ditunjuk menangani Indonesia, tapi ironisnya tak pernah turun bertanding. Pendekatan dan kualitasnya dipertanyakan, Blanco digantikan PSSI dengan Rahmad Darmawan sebagai caretaker untuk laga kualifikasi Piala Asia melawan Arab Saudi.

Setelahnya, Blanco kembali digeser menjadi pelatih tim U-19. Posisi pelatih tim senior dipercayakan ke tangan Jacksen Tiago, pria Brasil yang sudah berkiprah di sepakbola Indonesia sejak masih bermain di era Ligina pertama, 19 tahun lalu. Penunjukan sudah dilakukan PSSI, tetapi hingga tulisan ini diturunkan masih menunggu kepastian jawaban dari Jacksen.

Menunjuk pelatih asing juga sama seperti memilih kiblat. Untuk soal ini, PSSI seperti telah mengarahkan kiblat ke segala arah, mulai dari mazhab Eropa Barat, Eropa Timur, Inggris, Asia, hingga kini belakangan ke Amerika Latin. Metode kedisiplinan Eropa Timur membuahkan medali emas SEA Games terakhir untuk negeri ini, sedangkan Eropa Barat, khususnya Belanda, kerap menyuguhkan permainan tim yang menyerang dan atraktif. Kini menarik ditunggu bagaimana penerjemahan mazhab Amerika Latin sesuai dengan gaya permainan khas Indonesia.


Daftar pelatih asing Indonesia sepanjang masa
Choo Seng Quee (Singapura)1951-1953
Toni Pogacnik (Yugoslavia)1954-1963
Wiel Coerver (Belanda)1975-1976
Frans van Balkom (Belanda)1978-1979
Marek Janota (Polandia)1979-1980
Bernd Fischer (Jerman)1980-1981
Anatoli Polosin (Uni Soviet)1987-1991
Ivan Toplak (Yugoslavia)1991-1993
Romano Matte (Italia)1993-1995
Henk Wullems (Belanda)1996-1997
Bernard Schumm (Jerman)1999
Ivan Kolev (Bulgaria)2002-2004, 2007
Peter Withe (Inggris)2004-2007
Alfred Riedl (Austria)2010-2011
Wim Rijsbergen (Belanda)2011-2012
Luis Manuel Blanco (Argentina)2013
Jacksen Tiago (Brasil)2013-...

Dicomot dari:
http://www.goal.com/id-ID/news/1387/nasional/2013/04/20/3915215/fokus-dari-choo-seng-quee-hingga-jacksen-tiago-pelatih-asing?ICID=AR_TS_2

Rabu, 10 April 2013

TNI MANUSIA BIASA

Banyak yang Lupa kalau TNI pun Hanya Manusia

Banyak yang lupa kalau pada saat bencana, TNI salah satu yang pertama kali turun. Jauh dari keluarga, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.

Banyak yang lupa kalau di perbatasan, TNI bersedia menjadi guru atau paramedik tanpa dibayar.

Banyak yang lupa, ada pula perorangan TNI yang menyelamatkan orang dari hampir terjadinya perkosaan, perkelahian, perampokan, atau pertengkaran. Semua kebaikannya lenyap ketika ada berita keburukannya.

Banyak yang lupa kalau di pulau-pulau terluar, TNI yang berjaga kadang harus jauh dari keramaian, makan dan minum seadanya karena tidak ada listrik di sana. Kadang kalau ombak tinggi, di beberapa pulau tertentu, mereka harus mengumpulkan air hujan untuk dijadikan air minum karena di sana tidak ada PDAM atau air mineral galon yang kadang selalu mereka impikan setelah berada di pulau itu berbulan-bulan.

Banyak yang lupa, kalau TNI pernah mengintersep pesawat terbang US di Bawean meski dari persenjataan kalah telak, atau menabrakkan kapal perang yang terbuat dari fiber ke kapal perang negeri tetangga yang terbuat dari baja, atau berjalan kaki patroli di hutan belantara perbatasan. Perang mereka pasti berani, tapi pertimbangan perang bukan hanya karena ego saja. Ada pertimbangan rakyat lebih banyak.

Kami tidak pernah takut dengan ancaman luar. Jika pemimpin menginginkan perang, mereka akan perang. Jika diperintah maju, mereka akan maju. Itu amanat mereka .

Mereka tidak memiliki rasa takut meski alat mereka terbatas, kapal perang harus berpatroli bergantian karena BBM kami terbatasi, atau senjata mereka sudah tua ketika senjata-senjata modern sudah berdatangan di negara tetangga. Tapi perang selalu berakibat seorang anak kehilangan ayahnya, seorang istri kehilangan suaminya, seorang ayah kehilangan anak prajuritnya. Untuk memutuskan perang dibutuhkan banyak pertimbangan. Bukan hanya takut atau berani. Tapi juga efek jangka panjangnya. Kalau berani, mereka akan selalu berani.

Banyak yang lupa, kalau salah satu operasi penyelamatan terbaik di dunia pernah dilakukan TNI ketika operasi penyelamatan sandera WOYLA. Penyelamatan di Mapenduma juga dipuji dunia. Di kalangan pasukan perdamaian, TNI juga dihargai karena profesionalitas dan keramahannya.

Banyak yang lupa kalau TNI menembak separatis, semua lembaga akan berteriak melanggar HAM, tapi giliran TNI ditembak separatis, bahkan dalam keadaan tidak bersenjata pun, tidak ada yang berteriak tentang HAM.

Banyak yang lupa, kalau TNI juga manusia. Punya rasa amarah, punya rasa ingin dihargai sebagaimana semua orang apa pun profesinya ingin dihargai. Akan tetapi, sebagaimana berbagai profesi, akan selalu ada oknum yang menyalahgunakan profesinya, tidak hanya TNI. Ada oknum-oknum yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Tapi tetap bukan profesinya yang melakukannya, tapi orang dibaliknya.

Saya masih bangga dengan TNI di balik semua kekurangan dan kelebihannya.

Semoga bisa memperbaiki diri

Prinsip dan Jiwa Kopassus "Lebih Baik Pulang Nama Dari Pada Gagal di Medan Tugas"

Ande Cobra


Bermula dari Coba-coba dan “Bisnis Bodoh''

Alhamdulillah, saya lahir dari keluarga yang melarat. Bagi keluarga orang tua saya, airlah satu-satunya yang gratis, lainnya harus dibeli. Hebatnya, walaupun PNS Golongan IIB, dengan 7 anak, dan tanpa usaha sampingan apapun, ayah saya mampu mencetak saya menjadi sarjana pertama “wong cilik” di kampung. Saya bangga dan terus bersyukur, terlebih lagi kedua orang tua.

Namun di balik kebanggaan itu, tebersit penyesalan yang mendalam. “Mengapa saya hanya memilih SPG, IKIP, dan akhirnya hanya menjadi seorang guru.?? Mengapa tidak SMA lalu menjadi insinyur.??” Penyesalan itu terus bertambah, terlebih setelah empat kali tidak lolos tes CPNS (1989—1992). Bagi saya itu pukulan amat berat. Karena semua orang tahu bahwa semasa bersekolah saya selalu mendapat beasiswa.

Anehnya, di balik penyesalan itu, orang tuaku tetap bangga. Setidaknya karena saya tetap bersepatu, meskipun hanya sebagai guru honorer di SMP-SMA yang “la yamutu wa la yahya” dengan gaji yang pas-pasan untuk membeli bensin buat vespa super butut. Kebanggan orang tua itu menghambat keinginan saya untuk mengadu nasib di pulau seberang. Akan tetapi, setelah saya melakukan “aksi menangis” selama seminggu, saya pun diperbolehkan merantau.

Dengan honorarium dari harian Surya, majalah Mimbar Pembangunan Agama, dan Radio Suara Jerman Deutsche Welle, pada tanggal 10 November 1992 saya berhasil hengkang ke Kaltim. Betul.!! Di rantauan itu mata saya makin terbuka, pekerjaan banyak dan bisa saya pilih. Bagai kutu loncat, saya pun pindah-pindah kerja. Empat bulan menjadi Editor Program di sebuah Radio FM, 3 bulan menjadi wartawan, 1 tahun menjadi guru Yayasan Pendidikan Pupuk Kaltim dan dosen Universitas Trunojoyo, dan 2 tahun berikutnya menjadi guru di Yayasan Pendidikan Prima PT KPC.

Tidak cuma sampai di situ. Sejak 1996, saya pun merantau ke Indonesia timur dan bergabung dengan Yayasan Pendidikan Jayawijaya milik PT Freeport di Papua. Akan tetapi, apa mau dikata.?? Lagi-lagi, perpindahan tempat, selama pekerjaannya tetap guru, ternyata tidak membawa perubahan berarti secara finansial. Guru tetaplah guru. Gajinya tetap segitu-segitu, tidak sebaik nasib karyawan non-guru.

Setelah menyadari kenyataan itu, akhirnya bulan Juli 1998 saya putuskan untuk coba-coba berjualan komputer di rumah. Mula-mula saya membawa beberapa unit komputer untuk memenuhi jatah bagasi pesawat saat cuti. Dengan iklan ala kadarnya, alhamdulillah, jualan saya laris manis. Selang dua tahun berikutnya, saya menyewa toko di tengah Kota Timika. Alhamdulillah pula pelanggan makin banyak dan jualan makin laris.

Melihat usaha saya hasilnya lumayan, seorang sahabat yang baik hati dan tulus (meskipun beliau tinggal di Jakarta) mempercayakan modalnya yang luar biasa besar untuk saya putar. Modal dari sahabat saya itu saya belikan 3 angkot (untuk diversifikasi usaha). Dengan membeli 3 angkot, setidaknya tiap hari ada setoran Rp 300.000,00. Kalau toh ada yang harus masuk bengkel salah satunya, yang dua masih bisa jalan dan tetap ada masukan. Itu artinya tungku masih tetap bisa mengepulkan asap. Nah, bisnis angkot ini saya bilang bisnis bodoh karena risikonya relatif kecil (trayeknya cuma dalam kota dan kecepatan 40 km).

Meskipun sudah menjadi guru dan “pengusaha”, pikiran saya masih tertarik untuk melakukan diversifikasi usaha lagi, terutama supaya tidak shock menghadapi masa pensiun. Oleh karena itu pula, saya mengajak rekan-rekan guru di manapun mengabdi, ayolah cari income di luar gaji.

Pilihlah bisnis yang risikonya relatif kecil atau bisnis bodoh sebagai langkah awal.!! Jangan menggantungkan diri pada gaji saja.!! Apalagi menggantungkan hari tua hanya pada uang pensiun.!! Jangan.!! Biarpun rezeki sudah diatur oleh yang di atas, kita harus tetap melebarkan usaha.

Kisah : Munthoha E.S. ( Guru Bahasa Indonesia )
SD YPJ Tembagapura

Redaktur : Taufik Rahman
Source : REPUBLIKA.CO.ID

Selasa, 09 April 2013

YUSUF PUN TIDAK PROTES


Terlalu sedikit informasi yang kita dapatkan tentang Yusuf, ayah Yesus, dari dalam Alkitab. Kita hanya tahu bahwa Yusuf adalah keturunan Daud yang mempunyai hati yang tulus. Profesinya sendiri sebagai tukang kayu tidaklah bombastis. Terlalu sederhana malah. Dalam kesederhanaan itu, Yusuf hanya mampu mempersembahkan burung merpati saat acara baby dedication buat Yesus dalam rumah Tuhan.

Tapi percayalah bahwa Yusuf adalah pria pemberani. Hanya pria yang memiliki keberanian luar biasa saja yang mampu menerima wanita yang jelas-jelas hamil lebih dulu sebagai istrinya hanya dengan berbekal konfirmasi lewat mimpi. Adakah pria zaman sekarang yang sanggup melakukan hal yang serupa? Saya sendiri berpikir, andaikan orang-orang Yahudi secara beringas hendak merajam Maria dengan asumsi telah melakukan perzinahan, siapa yang akan pasang badan terlebih dulu? Akankah muncul pertolongan dari surga? Saya pikir intervensi ilahi itu ada pada diri seorang laki-laki bernama Yusuf. Dialah yang pasti akan memasang badan lebih dulu.

Saat Yesus belia hilang di Bait Allah di usia 12 tahun, Maria mungkin lebih panik dan ekspresif. Tapi dalam kebekuan hati seorang pria Yahudi yang sarat akan tata krama dan aturan, tentu terselip rasa gundah dan kegalauan yang luar biasa di hati Yusuf. Ia mungkin merasa menjadi pria paling invalid sedunia saat tahu bahwa anaknya hilang di tengah kerumunan massa. Untung saja, Yesus kecil tidaklah benar-benar hilang. Ia ada di dalam rumah Bapa-Nya.

Kembali saya mencoba untuk merenung hingga tiba di depan gerbang pemikiran seperti ini. Bagaimana perasaan Yusuf saat tahu bahwa Bocah Kudus yang ada dalam asuhannya adalah Allah Yang Maha Tinggi? Pernahkah Yusuf merasa sungkan bila harus menegur Yesus? Atau apakah Yesus adalah remaja badung nan alay sehingga membutuhkan teguran, bimbingan, atau bahkan hardikan Papa Yusuf? Untuk yang satu ini, Alkitab benar-benar membisu. Diam seribu kata.

Pasca kejadian hilangnya Yesus dalam bait Allah, nama Yusuf seolah lenyap ditelan setiap halaman kitab suci. Menghilang begitu saja tanpa keterangan. Jika Maria menerima  pengagungan yang begitu luar biasa dari sebagian kelompok gereja, Yusuf seolah terlupakan. Meskipun dalam tradisi gereja, Yusuf dianggap sebagai seorang santo nan kudus, namun tetap saja apresiasi yang melekat padanya tetap dirasa kurang semarak. Kiranya Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang memperhitungkan apa yang sudah dilakukan oleh Yusuf beserta dengan jutaan ayah yang lain.

Para ayah tidak pernah dan tidak perlu melakukan protes saat lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut. Tidak pentinglah bagi ayah untuk menjadi gundah saat lagu Umi yang bernafaskan nilai Islam diperdengarkan. Tidak pernah jadi masalah apakah ada surga terpampang di telapak kaki ayah atau tidak. Saya pikir bukan seperti itu yang didambakan oleh setiap ayah di muka bumi. Asalkan anak dan istrinya merasa aman dan tentram, cukuplah itu!

KISAH TRAGIS NINA WANG

RESENSI BUKU
Nina Wang lahir di Shanghai, pada tahun 1937. Ia lahir dari keluarga miskin. Ayahnya hanya pedagang sembako tapi memiliki cita-cita untuk membuat anak-anaknya bisa bersekolah. Nina pun disekolahkan, lalu berkenalan dengan Teddy. Mereka kemudian menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Keadaan politik China yang dilanda perang saudara dan ancaman dari Jepang kemudian membuat Teddy berserta keluarganya pindah ke Hongkong. Nina pun berpisah dengan Teddy dengan penuh air mata tapi mereka berjanji kelak akan bertemu kembali walau tidak pernah tahu kapan peristiwa itu terjadi.

Beberapa tahun kemudian, Nina mendapatkan beasiswa pendidikan di sebuah universitas dari perusahaan tempat ia berkerja. setahun sebelum ia lulus kuliah, tiba-tiba perusahaan yang memberikannya beasiswa diambil alih oleh pemerintah komunis. Untuk tetap bisa lulus kuliah, Nina pun berdagang bakpao dan mengumpulkan tabungan hingga akhirnya ia lulus kuliah. Keadaan ekonomi China yang sulit membuatnya kemudian memutuskan pindah ke Hongkong. Salah satu harapan Nina selain berkerja tentunya ia ingin mencari tahu keberadaan Teddy.

Takdir memang mempertemukan mereka kembali tapi keadaan telah berubah, Teddy sudah menjadi orang kaya dan memiliki tunangan. Sedangkan Nina hanya seorang buruh di pabrik garmen. Ia sempat patah hati melihat pujaan hatinya telah memiliki calon istri. Lagipula ia merasa, ia hanya orang miskin yang tak pantas lagi mengenal Teddy sahabat kecilnya. Waktu berjalan, tak disangka Teddy mengakhiri hubungannya dengan calon istri lalu melamar Nina sebagai Istri. Pernikahan pun berjalan dengan bahagia walau sempat ditentang oleh ayah Teddy.

Mereka pun bekerja keras membangun perusahaan ChinaChem dari sebuah kontraktor kecil menjadi pemimpin real estate terbesar di Hongkong. Sayang kebahagiaan mereka tidak disertai dengan kehadiran seorang anak ketika Nina harus menerima kenyataan mengalami gangguan indung telur. Walau tidak memiliki keturunan, Teddy tidak pernah berhenti mencintai Nina walau orang tuanya memintanya bercerai dan mencari istri yang bisa memberikan keturunan. Kesetiaan Nina pun diuji ketika tiba-tiba teddy diculik oleh mafia hitam di hongkong.

Mafia itu meminta tembusan 11 juta $ AS agar Teddy selamat. Nina pun mengabulkan permintaan penculik, teddy selamat dan kembali kepadanya. Selang beberapa tahun kemudian, teddy kembali di culik. Mafia itu meminta tembusan 34 juta $ AS. Nina menembus uang itu sayangnya penculik yang kikir tidak pernah mengembalikan Teddy. Teddy dinyatakan hilang dan divonis mati oleh pengadilan tertinggi di hongkong.

” jangan tanya apakah Teddy masih hidup tapi tanyakan siapa saja yang ingin dia mati” ( Teddy terkenal suka main sikut dalam berbisnis sehingga memiliki musuh yang banyak)

Nina melawan kesedian dan bangkit memimpin perusahaan suaminya yang nyaris bangkrut karena menejemen serta krisis ekonomi Asia melanda.

Selain harus berjuang menyelamatkan perusahaan, ia juga harus berjuang melawan ayah mertuanya sendiri karena merasa warisan yang ditinggalkan oleh Teddy seharusnya jatuh ke tangan sang ayah. Nina tidak tinggal diam, mereka sama-sama memiliki warisan yang dibuat oleh Teddy. Persidangan pun berjalan selama bertahun-tahun. Harta Teddy sempat jatuh ke tangan ayanya, tapi di tingkat kasasi Nina berhasil merebut warisan suaminya. Ayah nina menyerah dan akhirnya meninggal karena kanker.

Setelah berhasil memiliki warisan Teddy, Nina pun memimpin perusahaan itu sampai ia dinobatkan menjadi perempuan terkaya di Asia oleh majalah Forbes dengan nilai kekayaan sebesar 4,5 miliar $ AS. Uniknya walau kekayaan nina sendiri melebihi ratu inggris. Gaya hidupnya sendiri sangat sederhana, bahkan terbilang sangat pelit. Ia hanya menghabiskan uang bulanan sebesar 500 $AS atau hanya sebesar gaji pembantunya. Ia sering menjamu tamu bisnisnya di McDonalds dan terkadang terlihat sedang memburu pakaian diskon factory outlet.

Dengan gaya rambut kepang dua dan pakaian menyala, Nina dikenal masyarakat hongkong sebagai orang kikir dan unik. Ia selalu terlihat dengan 50 pengawal pribadi ketika berjalan di Hongkong dan terkadang tak segan pergi ke toko buku hanya untuk sekedar membaca komik secara gratis. Kekayaan yang berlimpah sayangnya tidak selalu bisa menyelamatkan hidupnya ketika ia di vonis dokter terkena penyakit kanker. Nina pun meninggal dengan sejuta tanda tanya akan warisannya karena tidak memiliki keturunan.

Tiba-tiba ahli fengsui pribadinya, Tony Chan mengklaim telah mendapatkan warisan dari Nina Wang yang akhirnya ditentang oleh adik-adik Nina. Babak kedua perebutan warisan pun terjadi antara Tony Chan dan Adik-adik Nina dengan bendera yayasan ChinaChem. Tony yang sempat menjadi kaya raya karena pemberian Nina wang, akhirnya malah jatuh miskin untuk membayar pengacara demi merebut warisan Nina yang sia-sia karena pengadilan hongkong akhirnya menjatuhkan semua warisan Nina kepada Yayasan yang dibenderai oleh perusahaan amalnya sendiri ChinaChem.

Kisah nina bak telenovela yang sungguh menarik untuk disimak, bagaimana ia sebagai gadis miskin tiba-tiba menjelma menjadi gadis terkaya di Asia. tetapi apakah kekayaan membuat ia bahagia? lalu mengapa warisannya seperti kutukan karena tak pernah ada yang benar-benar menikmatinya?


Pemesanan buku hubungi 087851126031
Add my pin BB 29D30F03

Senin, 01 April 2013

PAPA, PEMILIK CINTA YANG TERLUPAKAN



Suatu ketika saya menerima Blackberry Messenger yang begitu menyentuh hati saya. Izinkan saya untuk berbagi dengan kalian semua.

Saat berada jauh dari kedua orang tua, kamu akan selalu merindukan seorang mama. Bagaimana dengan papa? Mungkin karena mama yang selalu menelepon dan menanyakan keadaanmu. Tapi tahukah kamu bahwa ternyata papalah yang menyuruhnya?

Mungkin sewaktu kecil, mamalah yang selalu mendongeng di setiap tidurmu. Tapi tahukah kamu bahwa sepulang papa bekerja, dia selalu menanyakan kabarmu dan apa saja yang kamu lakukan?

Pada saat kamu akan belajar naik sepeda dan papa melepaskan kedua roda bantu, mama akan berkata. “Jangan dulu, Pa. Nanti dia jatuh!” Tapi tahukah kamu bahwa dalam hati kecil seorang papa, dia percaya bahwa anaknya pasti bisa? Maka papa hanya akan menatapmu, membiarkanmu saat terjatuh, dan hanya menjagamu dari kejauhan karena papa ingin anaknya mandiri.

Pada saat kamu beranjak remaja, kamu mulai menuntut papa untuk dapat izin keluar malam dan papa menjawab, “TIDAK BOLEH!!” Tahukah kamu papa melakukannya untuk menjagamu? Karena bagi seorang papa, anak adalah satu hal istimewa di hidupnya. Setelah itu, kamu menjadi marah kepada papa dan kemudian masuk ke kamar sambil membanting pintu. Lalu mama mendatangimu dan membujukmu. Tapi tahukah kamu bahwa saat itu papa memejamkan mata dan menahan gejolak dalam batinnya? Papa sangat ingin memberikan yang kamu minta. Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu.

Ketika kamu dewasa dan kamu harus pergi ke kota lain, papa harus melepaskanmu di bandara. Tahukah kamu bahwa badan papa terasa kaku? Papa hanya tersenyum dan menasehatimu untuk berhati-hati. Tapi tahukah kamu bahwa dia ingin sekali menangis seperti mama dan memelukmu dengan erat. Yang papa lakukan hanyalah mengusap air mata di sudut matanya dan berkata, “jaga dirimu baik-baik, Nak!” Tahukah kamu papa melakukan semua itu agar kamu jadi kuat. Kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

Papa itu seperti jembatan yang membiarkan anak-anaknya berjalan melewatinya. Ketika anak-anaknya telah sampai ke seberang, jembatan itu akan roboh dan runtuh dengan penuh sukacita. Dia akan lebih bersukacita ketika anak-anaknya juga menjadi jembatan yang mampu mengantar generasi berikutnya menuju gerbang keberhasilan.