Senin, 18 November 2013

MOVE ON

Tiga bulan sebelum pelaksanaan Olimpiade Beijing pada tahun 2008, perenang Amerika Serikat yang bernama Michael Phelps mencatat hasil yang kurang memuaskan dalam sebuah turnamen renang ajang pemanasan di Eropa. Phelps hanya memperoleh medali perunggu dalam kompetisi itu padahal ia adalah tumpuan harapan negararanya untuk memperoleh medali emas di olimpiade. Sesaat setelah perlombaan usai, ia menemui pelatihnya dan bertanya, “Coach, bagaimana (how) supaya saya bisa menang di Beijing nanti?”

Dalam bukunya yang berjudul Momen Inspirasi, Andreas Nawawi menjelaskan bahwa kata tanya yang paling banyak digunakan saat seseorang menghadapi kegagalan adalah mengapa (why). Bila menggunakan kata ini, kecenderungan manusia adalah menyalahkan orang lain, kondisi, atau apa saja. Seyogyanya bila mengahadapi kegagalan, kita perlu menggunakan kata tanya bagaimana (how). Kata tanya ini bersifat konstruktif dan menunjukkan sikap kesadaran bahwa diri kita masih kurang dan perlu berusaha untuk meningkatkan prestasi di masa mendatang.

Dalam kehidupan ini, kita tentu sering menemui kegagalan yang membuat terjun bebas dalam jurang kekecewaan. Orang lain bisa mengecewakan. Kita juga kerap kali disalahmengerti, tertolak, diremehkan, direndahkan, dan banyak hal lain yang membuat kekecewaan semakin bergelora dan berujung pada rasa tawar hati. Kita tidak lagi bersemangat dalam mengejar impian. Kita berubah menjadi sosok apatis yang selalu dirundung kekecewaan. Kita malas melangkah. Problem utamanya adalah bukan karena tidak bisa tapi kita enggan untuk melepaskan pengampunan.

Untuk bisa move on, kita harus bisa melepaskan pengampunan. Joey Bonifacio dalam bukunya The Lego Principle menegaskan, “Forgiveness is not something we do for other people. We do it for ourselves to get well and move on.” Tujuan hakiki dari melepaskan pengampunan ternyata adalah untuk diri kita sendiri dan bukan orang lain. Ibaratnya, kita ini sedang membuang pelbagai kotoran yang mengendap pada relung jiwa kita. Ketika kita mengampuni orang lain, sebenarnya kita sedang membenahi diri kita sendiri.

Pengampunan juga perlu dilakukan untuk diri sendiri. Banyak orang tidak mampu move on karena terlalu menyalahkan diri sendiri. Mereka didakwa siang dan malam oleh perasaan bersalah yang tidak berujung. Kita menjadi lupa bahwa sebenarnya si jahatlah yang memunculkan perasaan tersebut. Alkitab mencatat bahwa Yudas dan Petrus melakukan kesalahan fatal ketika Yesus disalibkan. Yudas menjual Yesus sementara Petrus menyangkal-Nya. Namun nasib Yudas berakhir secara tragis ketika ia memutuskan untuk bunuh diri karena ia  tidak mampu memaafkan dirinya sendiri. Petrus tetap move on karena sadar bahwa di dalam penyesalan ia membutuhkan kasih karunia untuk terus melangkah.


Michael Phelps akhirnya kembali berlaga dalam Olimpiade 2008 yang berlangsung di Beijing. Kegagalan di Eropa memang sempat membuat Phelps kecewa. Namun ia tidak menyalahkan situasi. Tidak pula ia menyalahkan pelatih dan diri sendiri. Sebaliknya, secara konstruktif ia tetap berusaha untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya. Sejarah mencatat bahwa Michaael Phelps berhasil meraih delapan medali emas dalam ajang olahraga 4 tahunan tersebut.  Orang akan mengingatnya sebagai perenang yang mampu memperoleh medali emas terbanyak sepanjang sejarah perhelatan olimpiade modern. Semua sepakat bahwa Michael Phepls adalah legenda renang kaliber dunia. Namun yang bagi saya, bagian yang terpenting dari kisah Michael Phelps adalah bukan pada pencapaian delapan medali emasnya, melainkan kemampuannya untuk move on.