Tiga bulan sebelum pelaksanaan Olimpiade Beijing pada tahun 2008, perenang
Amerika Serikat yang bernama Michael Phelps mencatat hasil yang kurang
memuaskan dalam sebuah turnamen renang ajang pemanasan di Eropa. Phelps hanya
memperoleh medali perunggu dalam kompetisi itu padahal ia adalah tumpuan
harapan negararanya untuk memperoleh medali emas di olimpiade. Sesaat setelah
perlombaan usai, ia menemui pelatihnya dan bertanya, “Coach, bagaimana (how)
supaya saya bisa menang di Beijing nanti?”
Dalam bukunya yang berjudul Momen Inspirasi, Andreas Nawawi menjelaskan
bahwa kata tanya yang paling banyak digunakan saat seseorang menghadapi
kegagalan adalah mengapa (why). Bila
menggunakan kata ini, kecenderungan manusia adalah menyalahkan orang lain,
kondisi, atau apa saja. Seyogyanya bila mengahadapi kegagalan, kita perlu
menggunakan kata tanya bagaimana (how). Kata tanya ini bersifat konstruktif dan
menunjukkan sikap kesadaran bahwa diri kita masih kurang dan perlu berusaha
untuk meningkatkan prestasi di masa mendatang.
Dalam kehidupan ini, kita tentu sering menemui kegagalan yang membuat
terjun bebas dalam jurang kekecewaan. Orang lain bisa mengecewakan. Kita juga
kerap kali disalahmengerti, tertolak, diremehkan, direndahkan, dan banyak hal
lain yang membuat kekecewaan semakin bergelora dan berujung pada rasa tawar
hati. Kita tidak lagi bersemangat dalam mengejar impian. Kita berubah menjadi
sosok apatis yang selalu dirundung kekecewaan. Kita malas melangkah. Problem
utamanya adalah bukan karena tidak bisa tapi kita enggan untuk melepaskan
pengampunan.
Untuk bisa move on, kita harus bisa
melepaskan pengampunan. Joey Bonifacio dalam bukunya The Lego Principle
menegaskan, “Forgiveness is not something
we do for other people. We do it for ourselves to get well and move on.”
Tujuan hakiki dari melepaskan pengampunan ternyata adalah untuk diri kita
sendiri dan bukan orang lain. Ibaratnya, kita ini sedang membuang pelbagai
kotoran yang mengendap pada relung jiwa kita. Ketika kita mengampuni orang
lain, sebenarnya kita sedang membenahi diri kita sendiri.
Pengampunan juga
perlu dilakukan untuk diri sendiri. Banyak orang tidak mampu move on karena
terlalu menyalahkan diri sendiri. Mereka didakwa siang dan malam oleh perasaan
bersalah yang tidak berujung. Kita menjadi lupa bahwa sebenarnya si jahatlah
yang memunculkan perasaan tersebut. Alkitab mencatat bahwa Yudas dan Petrus
melakukan kesalahan fatal ketika Yesus disalibkan. Yudas menjual Yesus
sementara Petrus menyangkal-Nya. Namun nasib Yudas berakhir secara tragis
ketika ia memutuskan untuk bunuh diri karena ia tidak mampu memaafkan dirinya sendiri. Petrus
tetap move on karena sadar bahwa di dalam penyesalan ia membutuhkan kasih
karunia untuk terus melangkah.
Michael Phelps akhirnya kembali berlaga dalam Olimpiade 2008 yang
berlangsung di Beijing. Kegagalan di Eropa memang sempat membuat Phelps kecewa.
Namun ia tidak menyalahkan situasi. Tidak pula ia menyalahkan pelatih dan diri
sendiri. Sebaliknya, secara konstruktif ia tetap berusaha untuk memaksimalkan
semua potensi yang dimilikinya. Sejarah mencatat bahwa Michaael Phelps berhasil
meraih delapan medali emas dalam ajang olahraga 4 tahunan tersebut. Orang akan mengingatnya sebagai perenang yang
mampu memperoleh medali emas terbanyak sepanjang sejarah perhelatan olimpiade
modern. Semua sepakat bahwa Michael Phepls adalah legenda renang kaliber dunia.
Namun yang bagi saya, bagian yang terpenting dari kisah Michael Phelps adalah bukan
pada pencapaian delapan medali emasnya, melainkan kemampuannya untuk move on.