Pada tahun 1980-an, Timnas Indonesia pernah memiliki striker yang sangat
berbahaya bernama Ricky Yakob. Gaya mainnya lugas dan berani. Tampangnya pun
keren. Melalui layar TVRI dulu, saya menyaksikan aksinya saat menjungkalkan
Brunei Darussalam di ajang SEA Games yang berlangsung di Jakarta pada tahun
1987. Walau sempat macet saat bertemu dengan Thailand, dentuman gol Ricky Yakob
kembali membahana saat menumbangkan Burma (sekarang Myanmar) di babak
semifinal. Kita bersua Malaysia di babak final. Kali ini kembali tidak ada gol
dari Ricky Yakob, namun Indonesia berhasil meraih medali emas melalui lesakan
gol semata wayang Ribut Waidi. Indonesia menjadi juara dan nama Ricky Yakob
dipuja.
Setelah itu sempat muncul nama Peri Sandria. Namun karirnya tidaklah melegenda
di level timnas. Orang lebih mengenal
Widodo C. Putra sebagai striker tajam yang pernah dimiliki Indonesia. Dia juga
merupakan salah satu anggota Timnas saat merebut medali emas kedua dalam
sejarah persepakbolaan Indonesia pada ajang Sea Games Manila di tahun 1991.
Aksi gol saltonya ke gawang Kuwait pada Piala Asia 1996 juga terasa abadi.
Duetnya bersama Roni Wabia di ajang itu berhasil menarik perhatian sejumlah
kalangan.
Saat kejayaan Widodo belum sirna, muncul nama Kurniawan Dwi Yulianto. Meskipun
berperawakan kurus, namun Kurniawan sangat cepat, bertenaga, dan bertalenta. Ia
pernah tampil bersama Sampdoria Italia sebelum akhirnya dikontrak FC Luzern
Swiss. Berduet dengan Widodo C. Putra, Kurniawan mampu membawa Timnas Indonesia
tampil gemilang di Sea Games 1997 sebelum dihentikan Thailand di babak final.
Sayang, kehidupan Si Kurus sarat kontroversi. Ia sempat mencoba bangkit bersama
tim Persebaya di ajang Liga Indonesia. Namun performa Kurniawan sudah tidak
sama lagi seperti dulu.
Sempat muncul nama Ilham Jaya Kesuma di lini depan Timnas kita. Namun saya
pikir, nama Bambang Pamungkas lebih layak untuk dikedepankan. Bambang adalah
sosok pemain yang cerdas, punya kemampuan berkomunikasi yang baik, profesional,
dan yang lebih penting lagi, ia adalah seorang pemimpin di dalam dan di luar
lapangan. Meskipun selama karirnya, Bambang Pamungkas tidak pernah memberikan
satu pun gelar bagi Indonesia, kiprahnya akan selalu diingat sebagai pencetak
gol terbanyak bagi Timnas Indonesia sampai hari ini. Meskipun demikian, saya
berharap rekor Si Raja Udara itu akan pecah pada suatu hari nanti.
Walaupun kemudian muncul nama Christian Gonzales yang tampil fenomenal di
ajang AFF Cup 2010, bagi saya Bambang Pamungkas adalah striker murni terakhir
yang dimiliki Timnas yang genuine
Indonesia. Setelah era Bambang usai, Indonesia kesulitan untuk mencari seorang finisher di lini depan. Memang terdapat
nama-nama mentereng seperti Boaz Salossa, Samsul Arief, Greg Nwokolo atau
bahkan Andik Vermansyah. Namun semuanya bertipe second striker/winger dan bukan
bomber oportunis.
Lihatlah kiprah Timnas senior kita! Paceklik gol, bukan? Hanya 2 biji gol
Boaz Salossa yang berhasil tercipta selama perhelatan Pra Piala Asia. Untuk
level U23, kelemahan mencolok yang tidak dapat disangkal saat berlaga di Sea
Games Myanmar yang lalu adalah mandulnya lini depan. Walau berhasil lolos ke
babak final, total cuma 4 gol yang tercipta selama 6 pertandingan. Di tingkat
U19, kita memang menemukan sosok striker Muchlis Hadi. Namun perlu diingat
bahwa moncernya Tim Garuda Muda lebih ditentukan dengan dahsyatnya performa Evan Dimas yang memainkan peran sebagai midfielder.
Apa yang menyebabkan Timnas kita kesulitan menemukan bomber handal?
Sebenarnya Indonesia tidak pernah kehabisan stock striker murni. Namun
sayangnya sebagian besar dari mereka kurang mendapatkan porsi untuk bermain
secara reguler di klub mereka masing-masing. Bukan rahasia lagi bahwa klub-klub
Indonesia lebih suka mempergunakan jasa para striker impor ketimbang striker
lokal. Di satu sisi, kebijakan ini berhasil meningkatkan performa tim secara
keseluruhan. Para penonton antusias
memenuhi stadion karena penampilan para pemain asing seakan menjadi jaminan
untuk mendapatkan tontonan sepak bola yang bermutu. Namun di sisi yang lain,
membanjirnya jumlah para pemain asing yang berlaga di liga domestik membuat
potensi pemain lokal, khususnya striker,
tidak dapat terasah dengan baik.
PSSI sebagai induk olahrga sepakbola di tanah air seharusnya mengambil
langkah tegas dengan membatasi jumlah pemain asing yang turun di Liga Super
Indonesia. Di samping itu, sudah waktunya bagi PSSI untuk memperhatikan
pembinaan pemain usia muda secara komprehensif di seluruh wikayah Indonesia.
Terdengar klise memang. Tapi untuk sesuatu yang klise ini pun PSSI belumlah
mampu melakukannya dengan baik. Organisasi yang dipimpin oleh Johar Arifin itu
masih hanya sibuk mengurusi Liga Super Indonesia dengan pelbagai dinamika yang
melulu hanya itu-itu saja.
Di samping itu, Timnas sepakbola kita juga sejatinya tidak membutuhkan
bomber naturalisasi. Naturalisasi hanya sekedar cari sensasi dan mencederai
hati anak negeri. Lagi pula dari sejumlah nama yang berhasil dinaturalisasi,
hanya beberapa nama yang terbukti mumpuni. Sisanya hanya modal gaya tanpa arti.
Naturalisasi merupakan potret kemalasan pengurus PSSI dan hanya sebuah shortcut
jangka pendek untuk meraih prestasi instant yang terbukti gagal dilakukan. Membahana
memang tetapi sejatinya semu.
Pedih hati saya ketika menyaksikan aksi striker macam Christian Gonzales
yang meskipun sudah uzur masih saja terpakai di Timnas Indonesia. Prihatin juga
hati ini melihat aksi nihil gol Sergio Van Djik di lini depan timnas kita. Di
mana aksi anak-anak Indonesia yang lain? Kenapa pemain model beginian yang
dipakai.
Ke depannya jangan ada lagi program naturalisasi. Kesalahan di masa lalu
tak perlu diulangi kembali. Alihkan pada pendayagunaan potensi anak negeri
sendiri mealui kompetisi berjenjang di seluruh pelosok negeri. PSSI bisa
melibatkan Departemen Pendidikan dan Pengda PSSI dari semua provinsi. Memang
membutuhkan proses panjang untuk membuahkan hasil, namun jika tidak segera dilakukan
mungkin menemukan bomber sejati bersama
dengan sebuah Timnas yang mumpuni tak ubahnya hanya sebuah mimpi.