![]() |
Add caption |
Anak itu bernama Ade. 12 tahun usianya. Hitam manis
perawakannya dan tidak banyak bicara pembawaannya. Di antara semua teman
sekelasnya, pakaian seragam Ade termasuk yang paling sederhana. Entah sudah
berapa lama ia tidak memakai seragam baru. Ia pun tidak pernah belagu. Kenyataan bahwa sang ayah hanya
berprofesi sebagai sopir angkot membuatnya selalu sadar bahwa segala sesuatu
hanyalah anugerah-Nya semata.
Ade bukanlah siswa yang outstanding. Prestasi akademisnya biasa-biasa saja. Ketika
teman-temannya yang lain sudah fasih bercas cis cus ria ala western, Ade cuma senyum-senyum saja.
Bukan karena ia sudah mahir, namun karena Ade sangat lemah dalam bidang studi
Bahasa Inggris. Ade suka sekali pelajaran olahraga. Meskipun saat itu kutahu
badannya kurang lentur, ia tetap saja terlibat dalam semua aktifitas fisik di
sekolahnya. Ia cukup bagus sebagai seorang defender
futsal. Pernah suatu ketika, ia terpilih untuk memperkuat tim futsal sekolahnya
dalam sebuah turnamen futsal antarsekolah. Meskipun bukan pemain inti, Ade tetaplah
antusias. Duduk berlama-lama di bangku bench
tidaklah menjadi persoalan baginya. Yang kuingat, tim futsal kami saat itu digebuk
tim lawan dengan skor mencolok 1 – 5. Saat kembali ke sekolah dengan
menggunakan mobil pinjaman dari orang tua, Ade muntah-muntah. Bukan karena
didera kelelahan fisik atau mengalami kedukaan akut karena timnya kalah yang
berujung pada gejala psikosomatis, namun karena mabuk perjalanan. ...!
Pernah suatu ketika Ade raib dari kelas. Tembok sekolah
yang kokoh seolah tidak sanggup menahan gejolak jiwanya untuk ingin bebas.
Menghilang ia bersama dengan 3 teman sekelasnya yang lain. Sebagai wali
kelasnya, aku cukup bingung mencari budak-budak kecil ini. Namun entah kenapa,
naluriku mengatakan bahwa mereka sedang bermain game di sebuah gerai game
online yang terletak di sebuah kompleks pertokoan tak jauh dari sekolah
kami. Sidak partikelir segera kulakukan ke tempat itu. Dan, benar saja.
Kutemukan 3 temannya di tempat itu tapi tidak kulihat Ade. Agaknya, bocah
tersebut sudah melarikan diri terlebih dahulu. Setelah lewat sejam lebih, baru
aku berhasil menemukan Ade di sebuh lorong sempit di belakang sekolah. Mungkin
maksudnya adalah mencoba melakukan kamuflase di antara tumbuhan liar yang
berkeriapan di sana. Namun agaknya Ade lupa bila wali kelasnya itu jauh lebih
berpengalaman dalam hal seperti itu karena memiliki track record kebandelan masa kecil yang tidak jauh berbeda.
Waktu terus berlalu. Ade berhasil lulus ujian akhir
Sekolah Dasar dengan nilai lumayan. Hanya nilai Bahasa Inggrisnya saja yang
masih pas-pasan. Ade sebenarnya bocah yang baik dan cerdas. Kupikir ia layak
mendapat apresiasi untuk semua kerja kerasnya selama ini. Aku bangga pernah
menjadi bagian dalam pembentukan utuh cakrawala pendidikannya.
Semenjak malam inagurasi kelulusan itu, aku jadi jarang
berinteraksi dengan Ade. Kesibukanku yang padat dalam mengajar membuatku melupakAnnya.
Yang kudengar, Ade masih aktif bermain futsal. Bahkan dia bersama dengan
teman-temannya beberapa kali menjuarai turnamen futsal antarsekolah di
Surabaya. Kali ini Ade bukan lagi penghangat bangku bench. Namanya selalu muncul di starting
line up.
Pada suatu ketika, aku menghadiri sebuah kebaktian di gereja
tempat sekolah kami berafiliasi. Ini sebuah kebaktian spesial karena bertepatan
dengan peringatan ulang tahun dari gereja tersebut. Pembicaranya beken,
rangkaian acaranya pun keren, jemaat pun mendapat berkat, dan yang paling
penting nama Tuhan dipermuliakan.
Dalam sebuah performa
kantata, kulihat wajah Ade di antara barisan pemuji. Ia sudah tumbuh menjadi
sosok pria dewasa. Banyak yang berubah dari dirinya, Namun ada satu hal yang
tetap sama: penampilannya tetap jauh dari kesan belagu. Sederhana.
Ade sempat bernyanyi solo di
tengah kantata itu. Suaranya lantang, jernih, dan enak didengar. Jauh dari
kesan minder atau pun show off. Ia melantunkan sebuah lagu berbahasa Inggris.
Tidak ada logat medok dalam rangkaian
kata yang keluar dari bibirnya. Lagu tersebut berhasil ia sampaikan dengan baik
dan sukses. Sejurus kemudian, Ade terlibat dalam sebuah performa acapela
bersama dengan beberapa orang yang lain. Harmonisasi suara yang diciptakan
cukup membuatku merinding disco. Brilian!
Sempat pula kudengar berita
bahwa Ade telah terpilih untuk mewakili komisi kepemudaan gerejanya untuk
menhadiri sebuah Youth Conference di luar negeri. Ahh ...sungguh besyukur
melihat Ade yang sekarang. Ade yang kukenal dulu sebagai siswa yang biasa-biasa
saja kini telah berubah menjadi Ade yang yang luar biasa.
Aku sempat menemukan sebuah
tulisan karya Andar Ismail tentang guru. Tulisannya tersebut semakin membuatku
sadar bahwa peranku sebagai guru cuma menabur namun Tuhanlah yang memberikan
pertumbuhan. Aku bangga dan biarlah kebanggaan yang tidak tergantikan oleh
harta ini terus kubawa sampai aku menutup mata. Biarlah cuplikan tulisan di
bawah ini dapat menjadi penghiburan dan inspirasi bagi guru-guru yang lain
Engkau
mengenal saya, saya seorang guru. Saya sendiri tidak tahu kenapa saya jadi
guru, Tetapi saya cukup senang, Tentu saja Tuhan, pahitnya banyak : ada murid
yang kurang ajar dan orang tua yang cerewet, ada Pengurus Yayasan yang sok
majikan dan gaji yang paspasan. Namun itu jadi terlupakan jika dibandingkan
dengan manisnya : murid yang lucu dan suka tersenyum, murid yang sopan, rajin
dan cerdas, murid yang tulisannya rapi, orang tua yang bijak, dan Pengurus
Yayasan yang bersahabat. Apalagi melihat murid yang bertumbuh, Dulu takut dan
ragu-ragu, kemudian menjadi percaya diri, Dulu malas, sekarang pekerja keras,
Dulu bodoh, sekarang pandai, Dulu cuma memikirkan diri sendiri, sekarang suka
menolong. Sungguh senang Tuhan, melihat mereka bertumbuh.
Tuhan, saya
sering meneteskan air mata, melihat mantan murid menjadi orang berguna. Terharu
rasanya, kalau ada mantan murid menyapa, wajahnya hampir lupa, tetapi ketika
dia menyebut nama dan tahun kelas, saya jadi ingat lagi murid-murid itu. Memang
ada mantan murid yang buang muka, tapi itu cuma satu dua, kebanyakan menyapa
dan bertanya, bercerita dan berbagi rasa, mengucapkan terima kasih dan
bernostalgia. Dulu ia masih anak kemarin, sekarang sudah jadi orang
berkedudukan tinggi. Dulu ia anak kecil, sekarang besar dan dewasa. Itu kepuasan
seorang guru, itu kebanggaan saya.
Tuhan,
melihat murid bertumbuh, membuat saya tidak menyesal menjadi guru. Dulu ia
pemalu, duduk di bangku paling belakang. sekarang ia menjadi pengurus Yayasan.
Dulu ia nakal dan jarang ke gereja, sekarang menjadi pembesar gereja. Dulu dia
murid saya, saya bangga. Tetapi Tuhan, ajarlah supaya saya jangan terlalu
bangga, Sebab saya hanya menabur, mencangkul dan menyuburkan lahan, menyiram
dan merawat, namun Engkaulah yang menumbuhkan. Tuhan, ajarlah supaya saya pun tidak
hanya terpukau pada masa lampau, melainkan juga memperhatikan masa kini.
Besok pagi
saya akan mengajar, tolonglah saya membuat persiapan yang baik. Tolonglah saya
bangun pagi sekali, supaya saya tiba di sekolah sebelum mereka. Besok pagi saya
mengajar lagi, karuniakanlah saya badan yang kuat, pikiran yang segar, hati
yang sabar, sikap yang bijak dan jiwa yang ikhlas. Supaya saya belajar
menghargai setiap individu murid, belajar mendengarkan mereka, memanfaatkan
masukan mereka, menerangkan dengan jelas dan mengajar dengan bermutu.
Tuhan,
Engkau tahu, beberapa kali saya hampir berhenti, tergoda untuk berganti
profesi. Kalau Engkau mau saya meneruskan semua ini, karuniakanlah saya hati
yang tabah dan setia, supaya saya terus menjadi guru, sampai tuntaslah masa
bakti ini, bakti kepadaMu, ya Tuhan. Kalau nanti segala karyaku ini purna,
hanya satu yang saya minta, Kiranya Engkau berkenan atas pekerjaanku. Kiranya
Engkau menerima dengan baik apa yang kukerjakan. Biarlah ada orang lain yang
meneruskannya, biarlah murid-muridku terus bertumbuh. Inilah hidupku bagiMu, ya
Tuhan, hidup seorang guru. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadaMu. Saya akan
meninggalkan pekerjaan ini dengan syukur.
Tuhan, tidak
apa-apa kalau kelak tidak ada mantan muridku, yang mengantarku ke
peristirahatan terakhir. Yang penting bukan siapa yang mengantar, tetapi siapa
yang menjemput. Kristus Tuhan, Engkau akan menjemput saya, bukan ? Engkau akan
menjemput saya dengan senyuman, dengan pelukan yang terasa hangat. Lalu Engkau
berkata : "Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, Sebab ketika aku
belum bisa menulis dan membaca, kamu mengajar Aku. Ketika Aku keliru, kamu
menegur Aku. Ketika Aku berprestasi, kamu memuji Aku, kamu mendidik Aku. Hai
kamu penabur yang baik dan setia, mari masuklah dan terimalah Kerajaan yang
Kusediakan bagimu"
Amin.