Minggu, 23 November 2014

ADE MURIDKU

Add caption
Anak itu bernama Ade. 12 tahun usianya. Hitam manis perawakannya dan tidak banyak bicara pembawaannya. Di antara semua teman sekelasnya, pakaian seragam Ade termasuk yang paling sederhana. Entah sudah berapa lama ia tidak memakai seragam baru. Ia pun tidak pernah belagu. Kenyataan bahwa sang ayah hanya berprofesi sebagai sopir angkot membuatnya selalu sadar bahwa segala sesuatu hanyalah anugerah-Nya semata.

Ade bukanlah siswa yang outstanding. Prestasi akademisnya biasa-biasa saja. Ketika teman-temannya yang lain sudah fasih bercas cis cus ria ala western, Ade cuma senyum-senyum saja. Bukan karena ia sudah mahir, namun karena Ade sangat lemah dalam bidang studi Bahasa Inggris. Ade suka sekali pelajaran olahraga. Meskipun saat itu kutahu badannya kurang lentur, ia tetap saja terlibat dalam semua aktifitas fisik di sekolahnya. Ia cukup bagus sebagai seorang defender futsal. Pernah suatu ketika, ia terpilih untuk memperkuat tim futsal sekolahnya dalam sebuah turnamen futsal antarsekolah. Meskipun bukan pemain inti, Ade tetaplah antusias. Duduk berlama-lama di bangku bench tidaklah menjadi persoalan baginya. Yang kuingat, tim futsal kami saat itu digebuk tim lawan dengan skor mencolok 1 – 5. Saat kembali ke sekolah dengan menggunakan mobil pinjaman dari orang tua, Ade muntah-muntah. Bukan karena didera kelelahan fisik atau mengalami kedukaan akut karena timnya kalah yang berujung pada gejala psikosomatis, namun karena mabuk perjalanan. ...!

Pernah suatu ketika Ade raib dari kelas. Tembok sekolah yang kokoh seolah tidak sanggup menahan gejolak jiwanya untuk ingin bebas. Menghilang ia bersama dengan 3 teman sekelasnya yang lain. Sebagai wali kelasnya, aku cukup bingung mencari budak-budak kecil ini. Namun entah kenapa, naluriku mengatakan bahwa mereka sedang bermain game di sebuah gerai game online yang terletak di sebuah kompleks pertokoan tak jauh dari sekolah kami. Sidak partikelir segera kulakukan ke tempat itu. Dan, benar saja. Kutemukan 3 temannya di tempat itu tapi tidak kulihat Ade. Agaknya, bocah tersebut sudah melarikan diri terlebih dahulu. Setelah lewat sejam lebih, baru aku berhasil menemukan Ade di sebuh lorong sempit di belakang sekolah. Mungkin maksudnya adalah mencoba melakukan kamuflase di antara tumbuhan liar yang berkeriapan di sana. Namun agaknya Ade lupa bila wali kelasnya itu jauh lebih berpengalaman dalam hal seperti itu karena memiliki track record kebandelan masa kecil yang tidak jauh berbeda.

Waktu terus berlalu. Ade berhasil lulus ujian akhir Sekolah Dasar dengan nilai lumayan. Hanya nilai Bahasa Inggrisnya saja yang masih pas-pasan. Ade sebenarnya bocah yang baik dan cerdas. Kupikir ia layak mendapat apresiasi untuk semua kerja kerasnya selama ini. Aku bangga pernah menjadi bagian dalam pembentukan utuh cakrawala pendidikannya.

Semenjak malam inagurasi kelulusan itu, aku jadi jarang berinteraksi dengan Ade. Kesibukanku yang padat dalam mengajar membuatku melupakAnnya. Yang kudengar, Ade masih aktif bermain futsal. Bahkan dia bersama dengan teman-temannya beberapa kali menjuarai turnamen futsal antarsekolah di Surabaya. Kali ini Ade bukan lagi penghangat bangku bench. Namanya selalu muncul di starting line up.

Pada suatu ketika, aku menghadiri sebuah kebaktian di gereja tempat sekolah kami berafiliasi. Ini sebuah kebaktian spesial karena bertepatan dengan peringatan ulang tahun dari gereja tersebut. Pembicaranya beken, rangkaian acaranya pun keren, jemaat pun mendapat berkat, dan yang paling penting nama Tuhan dipermuliakan.

Dalam sebuah performa kantata, kulihat wajah Ade di antara barisan pemuji. Ia sudah tumbuh menjadi sosok pria dewasa. Banyak yang berubah dari dirinya, Namun ada satu hal yang tetap sama: penampilannya tetap jauh dari kesan belagu. Sederhana.

Ade sempat bernyanyi solo di tengah kantata itu. Suaranya lantang, jernih, dan enak didengar. Jauh dari kesan minder atau pun show off.  Ia melantunkan sebuah lagu berbahasa Inggris. Tidak ada logat medok dalam rangkaian kata yang keluar dari bibirnya. Lagu tersebut berhasil ia sampaikan dengan baik dan sukses. Sejurus kemudian, Ade terlibat dalam sebuah performa acapela bersama dengan beberapa orang yang lain. Harmonisasi suara yang diciptakan cukup membuatku merinding disco. Brilian!

Sempat pula kudengar berita bahwa Ade telah terpilih untuk mewakili komisi kepemudaan gerejanya untuk menhadiri sebuah Youth Conference di luar negeri. Ahh ...sungguh besyukur melihat Ade yang sekarang. Ade yang kukenal dulu sebagai siswa yang biasa-biasa saja kini telah berubah menjadi Ade yang yang luar biasa. 

Aku sempat menemukan sebuah tulisan karya Andar Ismail tentang guru. Tulisannya tersebut semakin membuatku sadar bahwa peranku sebagai guru cuma menabur namun Tuhanlah yang memberikan pertumbuhan. Aku bangga dan biarlah kebanggaan yang tidak tergantikan oleh harta ini terus kubawa sampai aku menutup mata. Biarlah cuplikan tulisan di bawah ini dapat menjadi penghiburan dan inspirasi bagi guru-guru yang lain

Engkau mengenal saya, saya seorang guru. Saya sendiri tidak tahu kenapa saya jadi guru, Tetapi saya cukup senang, Tentu saja Tuhan, pahitnya banyak : ada murid yang kurang ajar dan orang tua yang cerewet, ada Pengurus Yayasan yang sok majikan dan gaji yang paspasan. Namun itu jadi terlupakan jika dibandingkan dengan manisnya : murid yang lucu dan suka tersenyum, murid yang sopan, rajin dan cerdas, murid yang tulisannya rapi, orang tua yang bijak, dan Pengurus Yayasan yang bersahabat. Apalagi melihat murid yang bertumbuh, Dulu takut dan ragu-ragu, kemudian menjadi percaya diri, Dulu malas, sekarang pekerja keras, Dulu bodoh, sekarang pandai, Dulu cuma memikirkan diri sendiri, sekarang suka menolong. Sungguh senang Tuhan, melihat mereka bertumbuh. 

Tuhan, saya sering meneteskan air mata, melihat mantan murid menjadi orang berguna. Terharu rasanya, kalau ada mantan murid menyapa, wajahnya hampir lupa, tetapi ketika dia menyebut nama dan tahun kelas, saya jadi ingat lagi murid-murid itu. Memang ada mantan murid yang buang muka, tapi itu cuma satu dua, kebanyakan menyapa dan bertanya, bercerita dan berbagi rasa, mengucapkan terima kasih dan bernostalgia. Dulu ia masih anak kemarin, sekarang sudah jadi orang berkedudukan tinggi. Dulu ia anak kecil, sekarang besar dan dewasa. Itu kepuasan seorang guru, itu kebanggaan saya. 

Tuhan, melihat murid bertumbuh, membuat saya tidak menyesal menjadi guru. Dulu ia pemalu, duduk di bangku paling belakang. sekarang ia menjadi pengurus Yayasan. Dulu ia nakal dan jarang ke gereja, sekarang menjadi pembesar gereja. Dulu dia murid saya, saya bangga. Tetapi Tuhan, ajarlah supaya saya jangan terlalu bangga, Sebab saya hanya menabur, mencangkul dan menyuburkan lahan, menyiram dan merawat, namun Engkaulah yang menumbuhkan. Tuhan, ajarlah supaya saya pun tidak hanya terpukau pada masa lampau, melainkan juga memperhatikan masa kini. 

Besok pagi saya akan mengajar, tolonglah saya membuat persiapan yang baik. Tolonglah saya bangun pagi sekali, supaya saya tiba di sekolah sebelum mereka. Besok pagi saya mengajar lagi, karuniakanlah saya badan yang kuat, pikiran yang segar, hati yang sabar, sikap yang bijak dan jiwa yang ikhlas. Supaya saya belajar menghargai setiap individu murid, belajar mendengarkan mereka, memanfaatkan masukan mereka, menerangkan dengan jelas dan mengajar dengan bermutu.

Tuhan, Engkau tahu, beberapa kali saya hampir berhenti, tergoda untuk berganti profesi. Kalau Engkau mau saya meneruskan semua ini, karuniakanlah saya hati yang tabah dan setia, supaya saya terus menjadi guru, sampai tuntaslah masa bakti ini, bakti kepadaMu, ya Tuhan. Kalau nanti segala karyaku ini purna, hanya satu yang saya minta, Kiranya Engkau berkenan atas pekerjaanku. Kiranya Engkau menerima dengan baik apa yang kukerjakan. Biarlah ada orang lain yang meneruskannya, biarlah murid-muridku terus bertumbuh. Inilah hidupku bagiMu, ya Tuhan, hidup seorang guru. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadaMu. Saya akan meninggalkan pekerjaan ini dengan syukur.

Tuhan, tidak apa-apa kalau kelak tidak ada mantan muridku, yang mengantarku ke peristirahatan terakhir. Yang penting bukan siapa yang mengantar, tetapi siapa yang menjemput. Kristus Tuhan, Engkau akan menjemput saya, bukan ? Engkau akan menjemput saya dengan senyuman, dengan pelukan yang terasa hangat. Lalu Engkau berkata : "Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, Sebab ketika aku belum bisa menulis dan membaca, kamu mengajar Aku. Ketika Aku keliru, kamu menegur Aku. Ketika Aku berprestasi, kamu memuji Aku, kamu mendidik Aku. Hai kamu penabur yang baik dan setia, mari masuklah dan terimalah Kerajaan yang Kusediakan bagimu"
Amin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar