Rabu, 01 Juni 2011

Spirit Kertanegara dalam Pelukan Ujung Galuh

Nenek moyang kita benar-benar makhluk yang pemberani dan luar biasa. Tidak percaya? Simak nukilan kisah sejarah berikut ini

Eksistensi bangsa yang kelihatan rapuh bernama Indonesia ini merupakan kelanjutan dari kerajaan yang pernah ada di muka bumi pertiwi ratusan tahun yang lampau, termasuk di antaranya adalah Kerajaan Singhasari. Keberanian dan ketegasan Raja Kertanegara dari Singhasari itu tercatat dengan rapi, baik dalam sumber-sumber sejarah Tiongkok maupun Indonesia. Kitab Pararaton dan Kitab Negara Kertagama semua mendokumentasikan peristiwa yang mungkin pada zaman modern ini tak akan pernah terjadi. Raja Kertanegara dari Singhasari berani menantang Kaisar Kubilai Khan dari kekaisaran Mongol yang berpusat di Tiongkok. Tantangan tersebut ibarat Pemerintah Indonesia melawan Negara Paman Sam dalam zaman modern.

Peristiwa itu terjadi pada 1289 ketika suatu hari Kerajaan Singhasari didatangi utusan khusus Mongol bernama Meng Khi. Kehadiran utusan itu semula diterima dengan baik, sebagaimana misi diplomatik lain yang tiba di istana. Normalnya seorang diplomat pada zaman itu adalah datang dengan membawa cenderamata berharga lalu menyampaikan surat dari rajanya, semacam letter of credential dalam tata hubungan diplomatik sekarang ini. Tapi, duta besar Meng Khi tersebut, karena merasa utusan dari negara superpower, berlagak jumawa dan petita petiti. Memang, misa yang dibawa menunjukkan arogansi kekaisaran Mongol. Kaisar Kubilai Khan menuntut Kertanegara dan kerajaannya untuk tunduk di bawah kekuasaan Mongol. Kertanegara diminta berangkat ke Tiongkok dengan membawa upeti dalam jumlah besar sebagai tanda ketundukan kerajaannya kepada negara superpower itu.

Pada zaman itu tak ada satu bangsa pun yang sanggup menghadapi pasukan Mongol. Pasukan kavalerinya sudah berhasil menaklukkan Hungaria, Polandia, Rusia, Baghdad, seluruh Timur Tengah, sebagian India, seluruh Asia Tengah, Korea, dan sebagian Asia Tenggara. Kekaisaran Mongol itu berhasil membangun imperium terbesar dalam sejarah planet ini, melebihi Julius Caesar, Alexander Agung, imperium Islam atau raja mana pun, baik dari Eropa atau Asia.


W.H. Barlett dalam bukunya yang berjudul Mongols, From Genghis Khan to Tamerlane, menyatakan bahwa Kertanegara melakukan tindakan ionovativ dalam memperlakukan Meng Khi. Yakni memotong terlinga utusan Mongol tersebut dan menulis jawaban sikapnya dengan menato dahi utusan yang pongah itu. Bandingkan dengan tindakan Leonidas dari Spartan dalam memperlakukan utusan Xerxes yang datang mengultimatum negerinya dan direkam dengan baik dalam film 300. Nggak jauh beda, kan?

Benar juga, tindakan Kertanegara tersebut mengundang kemarahan luar biasa Kaisar Kubilai Khan. Sebuah armada besar disiapkan untuk menghukum Singhasari. Pasukan berkekuatan dua tumen (nama satuan setingkat divisi) dikirim. Pasukan itu dipimpin tiga jenderal senior. Yakni seorang jenderal Mongol bernama Shih Pe, seorang jenderal dari Suku Uighur Ikhe Mase, dan seorang jenderal Tiongkok bernama Kao Hsing.

Kertangera tidak tinggal diam setelah kepulangan meng Khi. Dia merasa sudah pasti akan ada invasi dari negeri di seberang lautan. Karena itu, dia mengirimkan pasukan bersandi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahesa (sumber lain: Kebo) Anabrang dan ditempatkan di kawasan Palembang untuk mengawasi pergerakan pasukan Mongol yang diprediksi akan transit kawasan Melayu. Ternyata Kertanegara salah perhitungan. Pertama, ketika sebagian besar pasukan Singhasari diberangkatkan untuk mencegar invasi pasukan Mongol, Adipati Jayakatwang yang masih memendam dendam karena moyangnya dikalahkan Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari, melakukan kudeta yang akhirnya menewaskan Kertanegara. Kedua, pasukan Mongol ternyata tidak transit di kawasan Melayu tapi langsung bablas menuju pelabuhan Tuban yang waktu itu merupakan salah satu pelabuhan penting di pantai utara Pulau Jawa.

Sebagaimana yang tertulis dalam buku sejarah kita, Pasukan Mongol gagal menghukum Kertanegara. Tapi mereka malah dimanfaatkan Raden Wijayat untuk menumpas pasukan Jayakatwang. Pasukan Mongol yang berjumlah 20.000 orang itu kabarnya bisa mengalahkan 100.000 anggota pasukan Daha (Jayakatwang) dalam waktu sehari saja. Maklum, meskipun jumlahnya sedikit, persenjataannya sudah lebih maju. Setelah sukses mengalahkan Daha, giliran pasukan Raden Wijaya menghajar pasukan Mongol, sehingga lari kocar-kacir ke Ujung Galuh. Di kota yang kemudian berganti nama menjadi Surabaya itulah pada 31 Mei 1293 pasukan Mongol dibinasakan pasukan Raden Wijaya. Sebagian menyerah dan sisanya melarikan diri melalui Pelabuhan Tuban.

Saat kembali ke negaranya, para komandan invasi tersebut mendapatkan hubungan cambuk dari Kubilai Khan. Hanya Ike Masu, jenderal asal Uighur yang tidak dihukum sebab dia sudah memperingatkan kemungkinan adanya serangan dari pasukan Wijaya. Entah karena taktik yang jitu atau keteledoran pasukan Mongol, kenyataannya mereka terusir dari Ujung Galuh. Wajar kalau kemenangan penting tersebut dirayakan sebagai hari jadi Kota Surabaya.

NB: Thanks for Djoko Soesilo...(Jawa Pos, 1 Juni 2011)

3 komentar:

  1. kok hampir sama dengan opini yang ada di jawa pos pada 1 juni 2011 ya???Mohon koreksinya???

    BalasHapus
  2. wow ... tapi sayangnya Kertanegara kandas

    BalasHapus
  3. Anda benar, tulisan ini memang terambil dari harian Jawa Pos...saya hanya ingin berbagi. Thanks buat perhatiannya.

    BalasHapus