Senin, 30 Desember 2013

MENANTI BOMBER

Pada tahun 1980-an, Timnas Indonesia pernah memiliki striker yang sangat berbahaya bernama Ricky Yakob. Gaya mainnya lugas dan berani. Tampangnya pun keren. Melalui layar TVRI dulu, saya menyaksikan aksinya saat menjungkalkan Brunei Darussalam di ajang SEA Games yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1987. Walau sempat macet saat bertemu dengan Thailand, dentuman gol Ricky Yakob kembali membahana saat menumbangkan Burma (sekarang Myanmar) di babak semifinal. Kita bersua Malaysia di babak final. Kali ini kembali tidak ada gol dari Ricky Yakob, namun Indonesia berhasil meraih medali emas melalui lesakan gol semata wayang Ribut Waidi. Indonesia menjadi juara dan nama Ricky Yakob dipuja.

Setelah itu sempat muncul nama Peri Sandria. Namun karirnya tidaklah melegenda di level timnas.  Orang lebih mengenal Widodo C. Putra sebagai striker tajam yang pernah dimiliki Indonesia. Dia juga merupakan salah satu anggota Timnas saat merebut medali emas kedua dalam sejarah persepakbolaan Indonesia pada ajang Sea Games Manila di tahun 1991. Aksi gol saltonya ke gawang Kuwait pada Piala Asia 1996 juga terasa abadi. Duetnya bersama Roni Wabia di ajang itu berhasil menarik perhatian sejumlah kalangan.

Saat kejayaan Widodo belum sirna, muncul nama Kurniawan Dwi Yulianto. Meskipun berperawakan kurus, namun Kurniawan sangat cepat, bertenaga, dan bertalenta. Ia pernah tampil bersama Sampdoria Italia sebelum akhirnya dikontrak FC Luzern Swiss. Berduet dengan Widodo C. Putra, Kurniawan mampu membawa Timnas Indonesia tampil gemilang di Sea Games 1997 sebelum dihentikan Thailand di babak final. Sayang, kehidupan Si Kurus sarat kontroversi. Ia sempat mencoba bangkit bersama tim Persebaya di ajang Liga Indonesia. Namun performa Kurniawan sudah tidak sama lagi seperti dulu.

Sempat muncul nama Ilham Jaya Kesuma di lini depan Timnas kita. Namun saya pikir, nama Bambang Pamungkas lebih layak untuk dikedepankan. Bambang adalah sosok pemain yang cerdas, punya kemampuan berkomunikasi yang baik, profesional, dan yang lebih penting lagi, ia adalah seorang pemimpin di dalam dan di luar lapangan. Meskipun selama karirnya, Bambang Pamungkas tidak pernah memberikan satu pun gelar bagi Indonesia, kiprahnya akan selalu diingat sebagai pencetak gol terbanyak bagi Timnas Indonesia sampai hari ini. Meskipun demikian, saya berharap rekor Si Raja Udara itu akan pecah pada suatu hari nanti.

Walaupun kemudian muncul nama Christian Gonzales yang tampil fenomenal di ajang AFF Cup 2010, bagi saya Bambang Pamungkas adalah striker murni terakhir yang dimiliki Timnas yang genuine Indonesia. Setelah era Bambang usai, Indonesia kesulitan untuk mencari seorang finisher di lini depan. Memang terdapat nama-nama mentereng seperti Boaz Salossa, Samsul Arief, Greg Nwokolo atau bahkan Andik Vermansyah. Namun semuanya bertipe second striker/winger dan bukan bomber oportunis.

Lihatlah kiprah Timnas senior kita! Paceklik gol, bukan? Hanya 2 biji gol Boaz Salossa yang berhasil tercipta selama perhelatan Pra Piala Asia. Untuk level U23, kelemahan mencolok yang tidak dapat disangkal saat berlaga di Sea Games Myanmar yang lalu adalah mandulnya lini depan. Walau berhasil lolos ke babak final, total cuma 4 gol yang tercipta selama 6 pertandingan. Di tingkat U19, kita memang menemukan sosok striker Muchlis Hadi. Namun perlu diingat bahwa moncernya Tim Garuda Muda lebih ditentukan dengan dahsyatnya performa  Evan Dimas yang memainkan peran sebagai midfielder.

Apa yang menyebabkan Timnas kita kesulitan menemukan bomber handal?

Sebenarnya Indonesia tidak pernah kehabisan stock striker murni. Namun sayangnya sebagian besar dari mereka kurang mendapatkan porsi untuk bermain secara reguler di klub mereka masing-masing. Bukan rahasia lagi bahwa klub-klub Indonesia lebih suka mempergunakan jasa para striker impor ketimbang striker lokal. Di satu sisi, kebijakan ini berhasil meningkatkan performa tim secara keseluruhan. Para penonton  antusias memenuhi stadion karena penampilan para pemain asing seakan menjadi jaminan untuk mendapatkan tontonan sepak bola yang bermutu. Namun di sisi yang lain, membanjirnya jumlah para pemain asing yang berlaga di liga domestik membuat potensi pemain lokal, khususnya striker,  tidak dapat terasah dengan baik.

PSSI sebagai induk olahrga sepakbola di tanah air seharusnya mengambil langkah tegas dengan membatasi jumlah pemain asing yang turun di Liga Super Indonesia. Di samping itu, sudah waktunya bagi PSSI untuk memperhatikan pembinaan pemain usia muda secara komprehensif di seluruh wikayah Indonesia. Terdengar klise memang. Tapi untuk sesuatu yang klise ini pun PSSI belumlah mampu melakukannya dengan baik. Organisasi yang dipimpin oleh Johar Arifin itu masih hanya sibuk mengurusi Liga Super Indonesia dengan pelbagai dinamika yang melulu hanya itu-itu saja.

Di samping itu, Timnas sepakbola kita juga sejatinya tidak membutuhkan bomber naturalisasi. Naturalisasi hanya sekedar cari sensasi dan mencederai hati anak negeri. Lagi pula dari sejumlah nama yang berhasil dinaturalisasi, hanya beberapa nama yang terbukti mumpuni. Sisanya hanya modal gaya tanpa arti. Naturalisasi merupakan potret kemalasan pengurus PSSI dan hanya sebuah shortcut jangka pendek untuk meraih prestasi instant yang terbukti gagal dilakukan. Membahana memang tetapi sejatinya semu.

Pedih hati saya ketika menyaksikan aksi striker macam Christian Gonzales yang meskipun sudah uzur masih saja terpakai di Timnas Indonesia. Prihatin juga hati ini melihat aksi nihil gol Sergio Van Djik di lini depan timnas kita. Di mana aksi anak-anak Indonesia yang lain? Kenapa pemain model beginian yang dipakai.

Ke depannya jangan ada lagi program naturalisasi. Kesalahan di masa lalu tak perlu diulangi kembali. Alihkan pada pendayagunaan potensi anak negeri sendiri mealui kompetisi berjenjang di seluruh pelosok negeri. PSSI bisa melibatkan Departemen Pendidikan dan Pengda PSSI dari semua provinsi. Memang membutuhkan proses panjang untuk membuahkan hasil, namun jika tidak segera dilakukan  mungkin menemukan bomber sejati bersama dengan sebuah Timnas yang mumpuni tak ubahnya hanya sebuah mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar