Rabu, 01 Mei 2013

SADAR KACA


Kita ini adalah insan yang sadar kaca. Di mana pun ada kaca, kebanyakan dari kita selalu terdorong secara alamiah untuk mengaca. Kita begitu menikmati saat-saat berada di depan cermin. Tidak hanya di depan cermin rias, cermin  di dalam toilet maupun kaca spion kendaraan bermotor pun sanggup menjadi media murah meriah bagi kita untuk sekadar berkaca. Dinding lift, kolam, atau benda apa saja yang sanggup memantulkan bayangan kita juga tidak luput dari keganasan hasrat kita untuk mengagumi diri sendiri.

Apakah manusia adalah makhluk narsis? Hmmm ....bisa jadi. Namun pantulan bayangan bisa sangat mematikan. Dalam mitologi Yunani dikisahkan bahwa Medusa adalah seorang dewi yang cantik tiada tara yang berbadan dan berambut ular. Semua pria yang berani menatap matanya akan berubah menjadi batu. Ia begitu ditakuti sebagai pembawa kematian. Sampai kemudian muncul manusia setengah dewa bernama Perseus yang berani melawan kemurkaan sang angkara. Dengan menggunakan perisai yang berkilauan laksana cermin, Perseus berhasil memantulkan tatapan mata sang dewi sehingga kemudian Medusa sendirilah yang berubah menjadi batu.

Di zaman sekarang ini, tidak ada satu pun dari kita yang berubah menjadi batu saat berkaca di depan cermin atau di depan media apaun yang mampu memantulkan bayangan. Kita tidak pernah risau akan hal tersebut. Kita akan menjadi luar biasa risau  bila menemukan ada ketidakberesan dalam diri kita lewat pantulan cermin itu. Bisa jadi kita menemukan tumbuhnya jerawat di wajah kita. Kita bisa juga bertambah galau bila mendapati wajah kita mulai dihiasi kerut keriput atau efek panda di sekitar mata kita.

Kita kemudian jadi mudah merespon secara negatif terhadap diri sendiri berdasarkan pantulan bayangan yang kita lihat lewat kaca. Naluri sadar kaca tersebut kemudian menggiring kita ke dalam prespektif minor terhadap diri sendiri. Apalagi kemudian kita mulai melakukan komparasi terhadap sosok lain yang kita anggap lebih elok secara fisik dari diri kita. Kita menjadi insan yang lupa bersyukur bahwa sebenarnya kita diciptakan menurut rupa dan gambar Sang Pencipta.

Guru harus mempunyai gambar diri yang baik. Mustahil bagi guru untuk menjadi inspirasi bagi murid-muridnya jika dirinya kehilangan prespektif yang benar akan dirinya sendiri. Aura guru yang memiliki kepercayaan terhadap gambar dirinya akan dapat dirasakan secara nyata oleh para murid. Mungkin guru bukanlah manusia memikat secara kontur fisik, namun sorot mata dan pendekatan personalnya mampu menimbulkan rasa aman yang proporsional  bagi semua muridnya. Ia memang bukan seorang manusia super yang tahu segalanya. Ia cuma seorang insan sederhana yang tidak pernah lupa berkaca setiap hari sambil berkata, “ Aku ini seorang champion yang dipercayakan Tuhan untuk mendidik manusia-manusia belia calon champion juga.”

Nah ...selamat berkaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar