Kita ini adalah insan yang sadar kaca. Di mana pun ada kaca, kebanyakan
dari kita selalu terdorong secara alamiah untuk mengaca. Kita begitu menikmati
saat-saat berada di depan cermin. Tidak hanya di depan cermin rias, cermin di dalam toilet maupun kaca spion kendaraan bermotor pun sanggup menjadi media
murah meriah bagi kita untuk sekadar berkaca. Dinding lift, kolam, atau benda
apa saja yang sanggup memantulkan bayangan kita juga tidak luput dari keganasan
hasrat kita untuk mengagumi diri sendiri.
Apakah manusia adalah makhluk narsis? Hmmm ....bisa jadi. Namun pantulan
bayangan bisa sangat mematikan. Dalam
mitologi Yunani dikisahkan bahwa Medusa adalah seorang dewi yang cantik tiada
tara yang berbadan dan berambut ular. Semua pria yang berani menatap matanya
akan berubah menjadi batu. Ia begitu ditakuti sebagai pembawa kematian. Sampai
kemudian muncul manusia setengah dewa bernama Perseus yang berani melawan kemurkaan
sang angkara. Dengan menggunakan perisai yang berkilauan laksana cermin,
Perseus berhasil memantulkan tatapan mata sang dewi sehingga kemudian Medusa
sendirilah yang berubah menjadi batu.
Di zaman sekarang ini, tidak ada satu pun dari kita yang berubah menjadi
batu saat berkaca di depan cermin atau di depan media apaun yang mampu
memantulkan bayangan. Kita tidak pernah risau akan hal tersebut. Kita akan
menjadi luar biasa risau bila menemukan
ada ketidakberesan dalam diri kita lewat pantulan cermin itu. Bisa jadi kita
menemukan tumbuhnya jerawat di wajah kita. Kita bisa juga bertambah galau bila
mendapati wajah kita mulai dihiasi kerut keriput atau efek panda di sekitar
mata kita.
Kita kemudian jadi mudah merespon secara negatif terhadap diri sendiri
berdasarkan pantulan bayangan yang kita lihat lewat kaca. Naluri sadar kaca
tersebut kemudian menggiring kita ke dalam prespektif minor terhadap diri
sendiri. Apalagi kemudian kita mulai melakukan komparasi terhadap sosok lain
yang kita anggap lebih elok secara fisik dari diri kita. Kita menjadi insan
yang lupa bersyukur bahwa sebenarnya kita diciptakan menurut rupa dan gambar
Sang Pencipta.
Guru harus mempunyai gambar diri yang baik. Mustahil bagi guru untuk menjadi
inspirasi bagi murid-muridnya jika dirinya kehilangan prespektif yang benar
akan dirinya sendiri. Aura guru yang memiliki kepercayaan terhadap gambar
dirinya akan dapat dirasakan secara nyata oleh para murid. Mungkin guru
bukanlah manusia memikat secara kontur fisik, namun sorot mata dan pendekatan
personalnya mampu menimbulkan rasa aman yang proporsional bagi semua muridnya. Ia memang bukan seorang
manusia super yang tahu segalanya. Ia cuma seorang insan sederhana yang tidak
pernah lupa berkaca setiap hari sambil berkata, “ Aku ini seorang champion yang
dipercayakan Tuhan untuk mendidik manusia-manusia belia calon champion juga.”
Nah ...selamat berkaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar