Pada suatu pagi, Christopher,
salah seorang murid saya di kelas lima, datang menghampiri dengan wajah penuh
penyesalan. Ia kelupaan membawa tas! Can
you imagine that? Berangkat ke sekolah tapi lupa membawa tas beserta
isinya: lupa membawa alat tulis, tidak membawa project, tanpa ada buku, termasuk juga lupa membawa botol minum.
Murid bondho nekat mungkin ya seperti ini.
Di belahan Indonesia yang lain,
fenomena bondho nekat saat bersekolah
mungkin masih bisa dipahami. Keterbatasan ekomomi dan infrastruktur membuat
sebagian siswa di republik ini terpaksa mengais ilmu pengetahuan dengan modal
semangat saja. Berderet-deret tersiar kabar murid-murid Sekolah Dasar dari
Papua, Nusa Tenggara Timur dan pedalaman Kalimantan dengan gigih berjuang demi
memperoleh pendidikan yang berbudaya. Di Pulau Jawa saja, yang katanya pusat
peradaban Indonesia, masih ada peristiwa miris seputar dunia pendidikan. Tentu
kita masih ingat kasus para siswa di sebuah kabupaten di Jawa Barat yang nekat
menyeberangi sungai ala Indiana Jones
demi bisa sampai di sekolah. Tapi kasus Christopher ini masalah lain.
Saya sendiri heran kok kelupaannya
bisa keterlaluan seperti ini. Ketika masih bersekolah dulu, beberapa kali
memang saya kelupaan membawa perlatan sekolah. Tapi tidak pernah sekalipun saya
lupa membawa tas.
Seharian penuh Christopher
mengikuti proses belajar tanpa menggunakan buku, pensil, dan semacamnya. Dengan
tegas saya melarangnya menggunakan telpon sekolah untuk menghubungi rumah agar bisa
dikirimkan tas beserta isinya. Masalah kelupaan membawa “peralatan tempur” ke
sekolah bukanlah hal yang pertama bagi anak muda ini. Selalu saja ada barang
yang tertinggal. Kadang pensil, buku agenda, homework…..dan kali ini sudah mencapai puncaknya. Tas segedhe Gaban itu kok ya bisa-bisanya ketinggalan. Sebagian dari Anda mungkin ada
yang tidak setuju dengan cara pendisiplinan yang saya terapkan. Namun satu hal
yang pasti, saat itu saya sedang
berurusan dengan masalah kelupaan yang sudah akut.
Christopher berasal dari keluarga
berada. Ia terbiasa dilayani. Pagi itu, pembantunya sepertinya lupa menyiapkan
tas bagi sang pangeran kecil.
“Sebenarnya yang bersekolah itu
kamu apa pembantumu, Chris?” tanya saya pada Christopher.
“Tentu saja saya, Pak,” jawabnya
sambil tersenyum malu.
“Lha, kok ya bukan kamu sendiri yang menyiapkan tas beserta isinya?”
suara saya agak meninggi.
Christopher tetap tersenyum. Kali
ini senyumnya agak berasa jenaka. Tidak seperti tadi yang bercampur dengan rasa
bersalah. Sungguh saya tidak tega lagi untuk memarahinya. Sepanjang hari itu ia
sudah cukup “tersiksa” mengikuti sesi belajar tanpa menggunakan alat bantu
apapun.
Bicara tentang pendisiplinan
murid, saya mempunyai pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Sewaktu SMP dulu,
sekujur kaki saya pernah dipukuli guru matematika di depan kelas dengan
menggunakan penggaris kayu gara-gara tidak bisa menyelesaikan sebuah persamaan
matematika yang ada di papan tulis. Keringat deras bercucuran membasahi raga
ini. Ada rasa gugup, malu, termasuk juga rasa takut. Saya bersyukur tidak ngompol di depan kelas waktu itu. Apakah
soalnya selesai? Tidak…! Saya kembali ke bangku diiringi makian sang guru
mengapa saya tidak seperti teman saya yang brilliant
dari kelas lain yang kebetulan juga bernama Rudy.
Saya benci Pak Imam. Abdul Imam
Maulana, demikian nama lengkap guru itu. Saya juga muak dibandingkan dengan
siswa lain. Dan parahnya …mulai saat itu saya benci matematika! Tambah tidak
masuk akal lagi, saya jadi benci semua nama orang yang ada unsur Imam-nya.
Suatu ketika saya mendengar berita
bahwa guru matematika itu mengalami kecelakaan. Beliau diseruduk pick up di halaman sekolah. Meskipun
tidak meninggal, tapi beliau mengalami cacat permanen. Oh yeaaah ….Tuhan memang maha adil. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, dan kaki di balas kaki.
Rupanya keadilan sedang ditegakkan. Saya jadi punya banyak dasar Alkitab untuk
menghakimi. Hehehe …siapa menabur angin ia akan menuai badai. Siapa yang pernah
menghajar kaki dengan penggaris, kali ini ia mendapat bemper mobil.
Kok saya jadi kelihatan kejam, ya?
Tapi begitulah kenyataannya.
Karena dendam, saya jadi bersukacita atas kemalangan orang lain.
Masalah Christopher segera
ditindaklanjuti. Saya berikan beberapa tips praktis agar ia tidak lupa lagi,
termasuk di antaranya menempelkan note kecil di cermin sebagai reminder. Saya berharap setiap Christopher
bercermin, ia akan selalu diingatkan tentang beberapa hal yang perlu ia bawa
atau perlu diselesaikan. Cara tersebut ternyata manjur. Semenjak saat itu Christopher
sudah tidak lupa lagi. Tas, alat tulis, buku agenda, beserta dengan project-project semuanya lengkap dibawa setiap
hari. Leganya ….satu lagi permasalahan siswa bisa diatasi. Senang rasanya bisa
memberikan sumbangsih sederhana bagi kehidupan anak muda ini.
Saya sering tersenyum sendiri bila
teringat kisah Christopher. Tuhan memang sering menggunakan cara yang unik,
bahkan terkadang misterius untuk mengubah kehidupan anak-anak-Nya. I do really know that …!
Dua tahun lalu saya dapat
kesempatan untuk merayakan Natal di kampung halaman saya di Pasuruan. Kesibukan
yang super padat di Surabaya membuat saya jarang pulang. Senang rasanya bisa
duduk bersama dengan jemaat lokal yang sederhana untuk merayakan kelahiran
Tuhan. Bertemu kenalan lama sekalian bernostalgia. Sensasinya menyenangkan
sekali.
Gedung Gereja kami yang sederhana
dan tidak seberapa besar itu memang mendadak jadi penuh bila ada kebaktian
Natal. Hawa dingin Desember sepertinya tinggal angin lalu saja. Panas sekali di dalam gedung gereja. Tapi
satu kenyataan yang pasti. Seluruh jemaat larut dalam sukacita Natal yang
disediakan Tuhan bagi umat-Nya.
Ketika acara kebaktian selesai,
saya melihat seseorang yang sepertinya
saya kenal. Oh my goodness….,
bukankah ia Pak Imam. Sosok yang dulunya saya kenal sebagai sosok sangar sekarang sudah
menjadi renta dengan sebuah tongkat penyangga di sebelah kaki kanannya.
Meskipun sorot matanya tetap tajam, namun ia bukan lagi seperti Pak Imam yang
dulu. Kini beliau sudah tidak mengenali saya lagi. Namun hal itu tidak menjadi
masalah besar buat saya. Dendam di hati ini juga sedah lama sirna terbawa
waktu. Yang ada di hati hanya rasa iba melihat beliau dengan susah payah
berjalan tertatih-tatih dibantu oleh seorang anaknya meninggalkan gedung
gereja. Timotius Abdul Imam Maulana begitu nama beliau sekarang. Sudah semenjak
tahun lalu beliau menerima Yesus sebagai Tuhan dan memutuskan untuk berjemaat
di gereja ini.
Tuhan bekerja dengan cara yang
misterius, bukan?
mas rudi sama kyak aku.benci matematika. . .
BalasHapusMasalah murid nya mas rudi sama juga kyak aku.tp aku gk prnah ktinggalan tas hehehe :)