Selasa, 08 Mei 2012

CHRISTOPHER DAN PAK IMAM


Pada suatu pagi, Christopher, salah seorang murid saya di kelas lima, datang menghampiri dengan wajah penuh penyesalan. Ia kelupaan membawa tas! Can you imagine that? Berangkat ke sekolah tapi lupa membawa tas beserta isinya: lupa membawa alat tulis, tidak membawa project, tanpa ada buku, termasuk juga lupa membawa botol minum. Murid bondho nekat mungkin ya seperti ini.

Di belahan Indonesia yang lain, fenomena bondho nekat saat bersekolah mungkin masih bisa dipahami. Keterbatasan ekomomi dan infrastruktur membuat sebagian siswa di republik ini terpaksa mengais ilmu pengetahuan dengan modal semangat saja. Berderet-deret tersiar kabar murid-murid Sekolah Dasar dari Papua, Nusa Tenggara Timur dan pedalaman Kalimantan dengan gigih berjuang demi memperoleh pendidikan yang berbudaya. Di Pulau Jawa saja, yang katanya pusat peradaban Indonesia, masih ada peristiwa miris seputar dunia pendidikan. Tentu kita masih ingat kasus para siswa di sebuah kabupaten di Jawa Barat yang nekat menyeberangi sungai ala Indiana Jones demi bisa sampai di sekolah. Tapi kasus Christopher ini masalah lain.

Saya sendiri heran kok kelupaannya bisa keterlaluan seperti ini. Ketika masih bersekolah dulu, beberapa kali memang saya kelupaan membawa perlatan sekolah. Tapi tidak pernah sekalipun saya lupa membawa tas.

Seharian penuh Christopher mengikuti proses belajar tanpa menggunakan buku, pensil, dan semacamnya. Dengan tegas saya melarangnya menggunakan telpon sekolah untuk menghubungi rumah agar bisa dikirimkan tas beserta isinya. Masalah kelupaan membawa “peralatan tempur” ke sekolah bukanlah hal yang pertama bagi anak muda ini. Selalu saja ada barang yang tertinggal. Kadang pensil, buku agenda, homework…..dan kali ini sudah mencapai puncaknya. Tas segedhe Gaban itu kok ya bisa-bisanya ketinggalan. Sebagian dari Anda mungkin ada yang tidak setuju dengan cara pendisiplinan yang saya terapkan. Namun satu hal yang pasti,  saat itu saya sedang berurusan dengan masalah kelupaan yang  sudah akut.

Christopher berasal dari keluarga berada. Ia terbiasa dilayani. Pagi itu, pembantunya sepertinya lupa menyiapkan tas bagi sang pangeran kecil.
“Sebenarnya yang bersekolah itu kamu apa pembantumu, Chris?” tanya saya pada Christopher.
“Tentu saja saya, Pak,” jawabnya sambil tersenyum malu.
“Lha, kok ya bukan kamu sendiri yang menyiapkan tas beserta isinya?” suara saya agak meninggi.
Christopher tetap tersenyum. Kali ini senyumnya agak berasa jenaka. Tidak seperti tadi yang bercampur dengan rasa bersalah. Sungguh saya tidak tega lagi untuk memarahinya. Sepanjang hari itu ia sudah cukup “tersiksa” mengikuti sesi belajar tanpa menggunakan alat bantu apapun.

Bicara tentang pendisiplinan murid, saya mempunyai pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Sewaktu SMP dulu, sekujur kaki saya pernah dipukuli guru matematika di depan kelas dengan menggunakan penggaris kayu gara-gara tidak bisa menyelesaikan sebuah persamaan matematika yang ada di papan tulis. Keringat deras bercucuran membasahi raga ini. Ada rasa gugup, malu, termasuk juga rasa takut. Saya bersyukur tidak ngompol di depan kelas waktu itu. Apakah soalnya selesai? Tidak…! Saya kembali ke bangku diiringi makian sang guru mengapa saya tidak seperti teman saya yang brilliant dari kelas lain yang kebetulan juga bernama Rudy.

Saya benci Pak Imam. Abdul Imam Maulana, demikian nama lengkap guru itu. Saya juga muak dibandingkan dengan siswa lain. Dan parahnya …mulai saat itu saya benci matematika! Tambah tidak masuk akal lagi, saya jadi benci semua nama orang yang ada unsur Imam-nya.

Suatu ketika saya mendengar berita bahwa guru matematika itu mengalami kecelakaan. Beliau diseruduk pick up di halaman sekolah. Meskipun tidak meninggal, tapi beliau mengalami cacat permanen. Oh yeaaah ….Tuhan memang maha adil. Mata ganti mata,  gigi ganti gigi, dan kaki di balas kaki. Rupanya keadilan sedang ditegakkan. Saya jadi punya banyak dasar Alkitab untuk menghakimi. Hehehe …siapa menabur angin ia akan menuai badai. Siapa yang pernah menghajar kaki dengan penggaris, kali ini ia mendapat bemper mobil.

Kok saya jadi kelihatan kejam, ya?
Tapi begitulah kenyataannya. Karena dendam, saya jadi bersukacita atas kemalangan orang lain.

Masalah Christopher segera ditindaklanjuti. Saya berikan beberapa tips praktis agar ia tidak lupa lagi, termasuk di antaranya menempelkan note kecil di cermin sebagai reminder. Saya berharap setiap Christopher bercermin, ia akan selalu diingatkan tentang beberapa hal yang perlu ia bawa atau perlu diselesaikan. Cara tersebut ternyata manjur. Semenjak saat itu Christopher sudah tidak lupa lagi. Tas, alat tulis, buku agenda, beserta dengan project-project semuanya lengkap dibawa setiap hari. Leganya ….satu lagi permasalahan siswa bisa diatasi. Senang rasanya bisa memberikan sumbangsih sederhana bagi kehidupan anak muda ini.

Saya sering tersenyum sendiri bila teringat kisah Christopher. Tuhan memang sering menggunakan cara yang unik, bahkan terkadang misterius untuk mengubah kehidupan anak-anak-Nya. I do really know that …!

Dua tahun lalu saya dapat kesempatan untuk merayakan Natal di kampung halaman saya di Pasuruan. Kesibukan yang super padat di Surabaya membuat saya jarang pulang. Senang rasanya bisa duduk bersama dengan jemaat lokal yang sederhana untuk merayakan kelahiran Tuhan. Bertemu kenalan lama sekalian bernostalgia. Sensasinya menyenangkan sekali.

Gedung Gereja kami yang sederhana dan tidak seberapa besar itu memang mendadak jadi penuh bila ada kebaktian Natal. Hawa dingin Desember sepertinya tinggal angin lalu saja.  Panas sekali di dalam gedung gereja. Tapi satu kenyataan yang pasti. Seluruh jemaat larut dalam sukacita Natal yang disediakan Tuhan bagi umat-Nya.

Ketika acara kebaktian selesai, saya melihat seseorang yang sepertinya  saya kenal. Oh my goodness…., bukankah ia Pak Imam. Sosok yang dulunya  saya kenal sebagai sosok sangar sekarang sudah menjadi renta dengan sebuah tongkat penyangga di sebelah kaki kanannya. Meskipun sorot matanya tetap tajam, namun ia bukan lagi seperti Pak Imam yang dulu. Kini beliau sudah tidak mengenali saya lagi. Namun hal itu tidak menjadi masalah besar buat saya. Dendam di hati ini juga sedah lama sirna terbawa waktu. Yang ada di hati hanya rasa iba melihat beliau dengan susah payah berjalan tertatih-tatih dibantu oleh seorang anaknya meninggalkan gedung gereja. Timotius Abdul Imam Maulana begitu nama beliau sekarang. Sudah semenjak tahun lalu beliau menerima Yesus sebagai Tuhan dan memutuskan untuk berjemaat di gereja ini.

Tuhan bekerja dengan cara yang misterius, bukan?


1 komentar:

  1. mas rudi sama kyak aku.benci matematika. . .
    Masalah murid nya mas rudi sama juga kyak aku.tp aku gk prnah ktinggalan tas hehehe :)

    BalasHapus