Selasa, 01 Mei 2012

TERSENYUM MENGHADAPI KEMATIAN

Kematian adalah suatu hal yang pasti. Semua orang dari segala abad pasti mengalaminya. Kebanyakan orang merasa ketakutan menghadapi maut. Sebagian lagi merasa tidak sreg membicarakannya. Saya sendiri merasa kematian adalah sebuah misteri. Meskipun yakin bahwa sesudah kematian terdapat kehidupan kekal, namun saya tetap merasa kurang nyaman bila memikirkannya.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah merasa terpukul saat Papa meninggal dalam tidur di pagi hari. Sebuah serangan jantung mematikan membuat beliau tidak pernah bangun lagi. Cepat, bersih, tanpa merepotkan keluarga. Namun meskipun demikian kematian beliau yang elegan itu tetap membuat saya bersedih. Bila saya rindu beliau, saya masih sering mendengar lagu kesayangan papa: He Ain’t Heavy, He’s My Brother dari The Hollies. Tanpa terasa, air mata sudah membasahi pipi.

Di tengah malam, saya sering terjaga dari tidur. Diam-diam saya melihat dengan seksama wajah istri saya. Begitu damai dan rupawan. Bahkan di saat tidur pun ia masih terlihat cantik. Woow ….saya begitu diberkati Tuhan untuk yang satu ini. Namun sejurus kemudian saya menjadi sadar bahwa di kemudian hari nanti kami akan terpisahkan oleh kematian. Bisa saya yang meninggal duluan atau mungkin juga dia yang dipanggil pulang oleh Bapa terlebih dulu. Pikiran saya suka menerawang bila memikirkannya. Namun kesimpulannya sedehana: tidak nyaman.

Yesus sendiri pernah beberapa kali memberitahu murid-murid-Nya bahwa Dia akan mengalami kematian tragis di Yerusalem. Respon murid-murid juga senada dengan kebanyakan dari kita. Mereka cenderung tidak menghiraukan atau bahkan menganggap Yesus sedang ngelantur. Dalam sebuah kesempatan, Petrus bahkan pernah dengan tegas menyatakan bahwa Yesus tidak akan mati di Yerusalem. Bila perlu, ia sendiri siap mati demi Yesus. Akhir dari kisah tersebut saya yakin setiap kita sudah mengetahuinya. Yesus mati di kayu salib dan Petrus lari terbirit-birit entah ke mana setelah terlebih dulu menyangkal Yesus.

Saya sendiri membayangkan, Tuhan Semesta Alam dari tahta-Nya menyaksikan adegan demi adegan kelahiran dan kematian anak manusia. Semuanya terekam jelas dari CCTV ilahi. Semuanya harus terjadi dan sangat normal. Maut harus dihadapi, tidak perduli anak manusia itu siap atau tidak. Apakah Tuhan men-design kematian? Saya rasa tidak. Maut muncul akibat dosa manusia dan Yesus datang untuk mencabut kutukan kematian tersebut. Jadi kita seharusnya tidak perlu khawatir lagi akan kematian jasmani. Bila maut datang, sambutlah dengan senyuman karena kita tahu siapa yang tengah menanti dengan tangan penuh kasih di ujung sana.

Saya sadar bahwa cukup sukar menjelaskan kematian di hadapan anak-anak. Perlu pemilihan kata yang tepat untuk bisa mengartikulasikannya dengan elok di hadapan mereka. Biasanya seorang anak akan merasa kebingungan bila ada salah satu dari anggota keluarganya yang meninggal. Ia tidak mengerti mengapa saat itu banyak orang yang bersedih. Bahkan ada pula yang sampai menangis. Jika saat itu hadir menerpa sang anak, segera hampiri dia, tenangkan jiwanya, kecup keningnya, dan sadarilah bahwa sebenarnya ia sama bersedihnya dengan kita. Hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus menunjukkannya.

Ketika Zakheus meninggal, Yesus dan murid-muridnya datang melayat. Suasana kesedihan begitu terasa waktu itu dan Alkitab dengan indahnya merekam sebuah mozaik mengesankan dalam sebuah kalimat berikut: “Maka menangislah Yesus” (Yoh. 11:35). Bagi saya ayat super pendek itu  mampu menghadirkan nuansa indah di relung hati bahwa betapa Tuhan dapat sangat mengerti sensasi kesedihan yang muncul akibat kematian. Ia tidak jaim sambil berkata dengan angkuh bahwa di tangan-Nyalah terletak kehidupan dan kematian. Manusia tidak perlu protes. Diam dan nikmati saja. Tidak! Alkitab benar-benar menulis bahwa Yesus pun menangis.

Saya pernah hadir di rumah sakit untuk menjenguk salah seorang mantan murid saya yang tengah berjuang sengit melawan kanker. Ia sudah kehilangan kesadaran semenjak beberapa hari yang lalu. Semua telah dilakukan. Keluarga sudah pasrah, semua pendoa sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dalam tangis tertahan saya hanya bisa berkata lirih, “Tuhan Yesus, seandainya Engkau hadir di sini?”

Tidak ada kesembuhan. Gadis cilik itu meninggal. Agaknya Tuhan sedang mengajar kepada kami tentang arti kehidupan lewat kematian. Hidup itu benar-benar sebuah anugrah dan kematian pun hanya sebuah pintu gerbang menuju kehidupan baru yang mempunyai dimensi kekekalan. Jika Saudara mampu mengerti akan hal ini, tentu Anda akan setuju dengan saya bahwa begitu indah kematian orang-orang yang dikasihiNya.

Jadi tetaplah tersenyum walaupun ajal sudah mengintip di depan pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar