Beberapa tahun yang lalu, saya pernah merasa
terpukul saat Papa meninggal dalam tidur di pagi hari. Sebuah serangan jantung
mematikan membuat beliau tidak pernah bangun lagi. Cepat, bersih, tanpa
merepotkan keluarga. Namun meskipun demikian kematian beliau yang elegan
itu tetap membuat saya bersedih. Bila saya rindu beliau, saya masih sering
mendengar lagu kesayangan papa: He Ain’t
Heavy, He’s My Brother dari The
Hollies. Tanpa terasa, air mata sudah membasahi pipi.
Di tengah malam, saya sering terjaga dari
tidur. Diam-diam saya melihat dengan seksama wajah istri saya. Begitu
damai dan rupawan. Bahkan di saat tidur pun ia masih terlihat cantik. Woow
….saya begitu diberkati Tuhan untuk yang satu ini. Namun sejurus kemudian saya
menjadi sadar bahwa di kemudian hari nanti kami akan terpisahkan oleh kematian.
Bisa saya yang meninggal
duluan atau mungkin juga dia yang dipanggil pulang oleh Bapa terlebih dulu.
Pikiran saya suka menerawang bila memikirkannya. Namun kesimpulannya sedehana:
tidak nyaman.
Yesus sendiri pernah beberapa kali memberitahu
murid-murid-Nya bahwa Dia akan mengalami kematian tragis di Yerusalem. Respon
murid-murid juga senada dengan kebanyakan dari kita. Mereka cenderung tidak
menghiraukan atau bahkan menganggap Yesus sedang ngelantur. Dalam sebuah kesempatan, Petrus bahkan pernah dengan
tegas menyatakan bahwa Yesus tidak akan mati di Yerusalem. Bila perlu, ia
sendiri siap mati demi Yesus. Akhir dari kisah tersebut saya yakin setiap kita
sudah mengetahuinya. Yesus mati di kayu salib dan Petrus lari terbirit-birit
entah ke mana setelah terlebih dulu menyangkal Yesus.
Saya sendiri membayangkan, Tuhan Semesta Alam
dari tahta-Nya menyaksikan adegan demi adegan kelahiran dan kematian anak
manusia. Semuanya terekam jelas dari CCTV ilahi. Semuanya harus terjadi dan
sangat normal. Maut harus dihadapi, tidak perduli anak manusia itu siap atau
tidak. Apakah Tuhan men-design
kematian? Saya rasa tidak. Maut muncul akibat dosa manusia dan Yesus datang
untuk mencabut kutukan kematian tersebut. Jadi kita seharusnya tidak perlu
khawatir lagi akan kematian jasmani. Bila maut datang, sambutlah dengan
senyuman karena kita tahu siapa yang tengah menanti dengan tangan penuh kasih di
ujung sana.
Saya sadar bahwa cukup sukar
menjelaskan kematian di hadapan anak-anak. Perlu pemilihan kata yang tepat
untuk bisa mengartikulasikannya dengan elok di hadapan mereka. Biasanya seorang
anak akan merasa kebingungan bila ada salah satu dari anggota keluarganya yang
meninggal. Ia tidak mengerti mengapa saat itu banyak orang yang bersedih.
Bahkan ada pula yang sampai menangis. Jika saat itu hadir menerpa sang anak,
segera hampiri dia, tenangkan jiwanya, kecup keningnya, dan sadarilah bahwa
sebenarnya ia sama bersedihnya dengan kita. Hanya saja ia tidak tahu bagaimana
harus menunjukkannya.
Ketika Zakheus meninggal, Yesus
dan murid-muridnya datang melayat. Suasana kesedihan begitu terasa waktu itu dan
Alkitab dengan indahnya merekam sebuah mozaik mengesankan dalam sebuah kalimat
berikut: “Maka menangislah Yesus” (Yoh. 11:35). Bagi saya ayat super pendek
itu mampu menghadirkan nuansa indah di
relung hati bahwa betapa Tuhan dapat sangat mengerti sensasi kesedihan yang
muncul akibat kematian. Ia tidak jaim
sambil berkata dengan angkuh bahwa di tangan-Nyalah terletak kehidupan dan
kematian. Manusia tidak perlu protes. Diam dan nikmati saja. Tidak! Alkitab
benar-benar menulis bahwa Yesus pun menangis.
Saya pernah hadir di rumah sakit
untuk menjenguk salah seorang mantan murid saya yang tengah berjuang sengit
melawan kanker. Ia sudah kehilangan kesadaran semenjak beberapa hari yang lalu.
Semua telah dilakukan. Keluarga sudah pasrah, semua pendoa sudah tidak mampu
berkata apa-apa lagi. Dalam tangis tertahan saya hanya bisa berkata lirih, “Tuhan
Yesus, seandainya Engkau hadir di sini?”
Tidak ada kesembuhan. Gadis cilik
itu meninggal. Agaknya Tuhan sedang mengajar kepada kami tentang arti kehidupan
lewat kematian. Hidup itu benar-benar sebuah anugrah dan kematian pun hanya
sebuah pintu gerbang menuju kehidupan baru yang mempunyai dimensi kekekalan.
Jika Saudara mampu mengerti akan hal ini, tentu Anda akan setuju dengan saya
bahwa begitu indah kematian orang-orang yang dikasihiNya.
Jadi tetaplah tersenyum walaupun
ajal sudah mengintip di depan pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar