Selasa, 01 Mei 2012

SAAT GURU NONTON THE RAID


Ya ampun...! Tontonan apa ini. Darah muncrat di mana-mana, isi kepala berhamburan karena ditembak dari jarak dekat, leher tertusuk pecahan neon lampu, dentuman shotgun yang terdengar angkuh, berpadu dengan eksotisme seni bela diri ala anak negeri. Wooow …. Itulah gambaran tentang film The Raid yang beberapa waktu lalu saya tonton. Meskipun miskin ide cerita, namun katanya film ini berhasil menembus box office di negeri Paman Sam sana.
Saya ogah berdebat apakah film ini bagus apa tidak. Rekan saya di kantor dengan bersemangat menyatakan film ini bagus dan spektakuler. Tapi bagi subjektivitas saya, film ini horror banget dan yang pasti film ini bukan untuk konsumsi anak-anak sekolah. Jangankan anak-anak, istri saya saja nyaris muntah di studio XXI saat menyaksikan film ini. 
Sebenarnya pada awalnya saya tidak tertarik menonton film yang disutradarai oleh Gareth Huw Evans ini. Namun harus diakui bahwa saya terpengaruh dengan promosi dahsyat dari pihak pembuat film. Dikatakan bahwa film ini merupakan karya revolusioner orang Indonesia yang mampu meraih pelbagai perhargaan dunia perfilman dari luar negeri. Untuk membuktikannya ...let’s go to the movie. Hasilnya lumayan parah. Jadilah saya dan istri jadi korban marketing globalisasi.
The Raid bukan tontonan anak kecil. Tapi masih ada juga orang tua yang membawa anaknya yang masih kecil nonton film tersebut. Saya sendiri heran, nilai moral apa yang dapat diceritakan sang orang tua pada anak tersebut. Tapi memang begitulah kenyataannya. Banyak orang tua dan guru yang tidak terlalu ambil pusing tentang film yang ditonton oleh para buah hatinya. Yang penting sang anak senang, habis perkara.
Dr. Andar Ismail dalam bukunya Selamat Hidup Rukun (1982) menjelaskan bahwa pada zaman Perjanjian Lama, orang Yahudi beranggapan bahwa manusia baru bisa dididik saat berusia empat tahun. Menurut mereka anak usia setahun belum bisa belajar apa-apa karena ia ibarat raja kecil yang pekerjaannya hanya tidur sepanjang hari. Demikian juga anak berumur dua atau tiga tahun. Menurut orang Yahudi, ia laksana babi jorok yang tangannya ingin memegang segala sesuatu, lalu menjilat apa saja yang bisa dipegangnya.
Oleh sebab itu, menurut orang Yahudi, pendidikan baru bisa dimulai pada usia empat tahun saat seorang anak sudah mulai bisa berbicara dengan baik. Credo pertama yang biasa diajarkan oleh orang tua Yahudi adalah pernyataan yang berbunyi, “Dengarlah hai orang Israel. Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6: 4 – 5).
Begitu disiplinnya orang Yahudi mendidik anak-anak mereka, serasa berbanding terbalik dengan cara kita mendidik anak. Saat ini anak-anak dengan sangat mudahnya dapat bercumbu dengan pelbagai tayangan yang minim nilai edukasinya. Kemajuan teknologi agaknya telah mampu membawa mereka berlari lebih cepat dari orang tua dan para gurunya. Mereka dengan mudah mengakses informasi via internet, menikmati manga Jepang, menonton film melalui rupa-rupa media, dan melakukan proses imitasi dan dan duplikasi terhadap nilai-nilai baru yang mereka anggap baik.
The Raid memang salah satu contoh film Indonesia yang mampu berbicara lantang di luar sana. Namun saya merasa orang tua perlu berhati-hati dalam membawa anak-anaknya menyaksikan film-film dengan genre seperti ini. Memang harus diakui bahwa republik ini miskin tayangan hiburan yang berkualitas. Tidak banyak teladan dan contoh yang dapat menjadi model strategis bagi anak-anak. Tapi tentu saja kita sebagai orang tua tidak boleh menyerah begitu saja, bukan?
Kita harus berani repot dalam mengurusi anak-anak. Bila selama ini sudah merasa repot, maka kita harus berkomitmen untuk lebih repot lagi dalam memperhatikan anak-anak. Memang akan sangat menguras uang, energi, dan waktu. Namun demi anak-anak, semuanya tentu akan kita lakukan.
Guru pun seyogyanya tidak boleh anti nonton film. Tontonlah banyak film agar kita bisa menjadikannya batu loncatan untuk membangun komunikasi dengan para siswa. The Avenger, Transformer, Amazing Spiderman, blah blah blah ……Nikmati juga SMA*SH, Suju, Cherrybelle, Detective Conan, Doraemon, Naruto sampai Shinchan sekalipun. Saya mengerti sekali bahwa sebagian kita akan terasa kurang nyaman saat menikmati menu yang barusan saya tawarkan. Tapin sadarilah, kita yang harus masuk ke dunia anak-anak/remaja karena mereka tidak akan bisa mengerti betapa jadul-nya dunia kita.
Mau, kan?

1 komentar: