Ya ampun...! Tontonan apa ini. Darah muncrat di mana-mana, isi kepala berhamburan karena
ditembak dari jarak dekat, leher tertusuk pecahan neon lampu, dentuman shotgun yang terdengar angkuh, berpadu
dengan eksotisme seni bela diri ala anak negeri. Wooow …. Itulah gambaran tentang
film The Raid yang beberapa waktu lalu saya tonton. Meskipun miskin ide cerita,
namun katanya film ini berhasil menembus
box office di negeri Paman Sam sana .
Saya ogah
berdebat apakah film ini bagus apa tidak. Rekan saya di kantor dengan
bersemangat menyatakan film ini bagus dan spektakuler. Tapi bagi subjektivitas
saya, film ini horror banget dan yang pasti film ini bukan
untuk konsumsi anak-anak sekolah. Jangankan anak-anak, istri saya saja nyaris
muntah di studio XXI saat menyaksikan film ini.
Sebenarnya pada awalnya saya tidak
tertarik menonton film yang disutradarai oleh Gareth Huw Evans ini. Namun harus diakui bahwa saya terpengaruh dengan
promosi dahsyat dari pihak pembuat film. Dikatakan bahwa film ini merupakan
karya revolusioner orang Indonesia
yang mampu meraih pelbagai perhargaan dunia perfilman dari luar negeri. Untuk
membuktikannya ...let’s go to the movie.
Hasilnya lumayan parah. Jadilah saya dan istri jadi korban marketing
globalisasi.
The Raid bukan tontonan anak kecil. Tapi
masih ada juga orang tua yang membawa anaknya yang masih kecil nonton film
tersebut. Saya sendiri heran, nilai moral apa yang dapat diceritakan sang orang
tua pada anak tersebut. Tapi memang begitulah kenyataannya. Banyak orang tua
dan guru yang tidak terlalu ambil pusing tentang film yang ditonton oleh para
buah hatinya. Yang penting sang anak senang, habis perkara.
Dr. Andar Ismail dalam bukunya Selamat
Hidup Rukun (1982) menjelaskan bahwa pada zaman Perjanjian Lama, orang Yahudi
beranggapan bahwa manusia baru bisa dididik saat berusia empat tahun. Menurut
mereka anak usia setahun belum bisa belajar apa-apa karena ia ibarat raja kecil
yang pekerjaannya hanya tidur sepanjang hari. Demikian juga anak berumur dua
atau tiga tahun. Menurut orang Yahudi, ia laksana babi jorok yang tangannya
ingin memegang segala sesuatu, lalu menjilat apa saja yang bisa dipegangnya.
Oleh sebab itu, menurut orang Yahudi, pendidikan
baru bisa dimulai pada usia empat tahun saat seorang anak sudah mulai bisa
berbicara dengan baik. Credo pertama yang biasa diajarkan oleh orang tua Yahudi
adalah pernyataan yang berbunyi, “Dengarlah hai orang Israel . Tuhan
itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu
dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6: 4 – 5).
Begitu disiplinnya orang Yahudi mendidik
anak-anak mereka, serasa berbanding terbalik dengan cara kita mendidik anak.
Saat ini anak-anak dengan sangat mudahnya dapat bercumbu dengan pelbagai
tayangan yang minim nilai edukasinya. Kemajuan teknologi agaknya telah mampu
membawa mereka berlari lebih cepat dari orang tua dan para gurunya. Mereka
dengan mudah mengakses informasi via internet, menikmati manga Jepang, menonton film melalui rupa-rupa media, dan melakukan
proses imitasi dan dan duplikasi terhadap nilai-nilai baru yang mereka anggap
baik.
The Raid memang salah satu contoh film Indonesia yang mampu berbicara lantang di luar sana . Namun saya merasa
orang tua perlu berhati-hati dalam membawa anak-anaknya menyaksikan film-film
dengan genre seperti ini. Memang harus diakui bahwa republik ini miskin
tayangan hiburan yang berkualitas. Tidak banyak teladan dan contoh yang dapat
menjadi model strategis bagi anak-anak. Tapi tentu saja kita sebagai orang tua
tidak boleh menyerah begitu saja, bukan?
Kita harus berani repot dalam mengurusi
anak-anak. Bila selama ini sudah merasa repot, maka kita harus berkomitmen
untuk lebih repot lagi dalam memperhatikan anak-anak. Memang akan sangat
menguras uang, energi, dan waktu. Namun demi anak-anak, semuanya tentu akan
kita lakukan.
Guru pun
seyogyanya tidak boleh anti nonton film. Tontonlah banyak film agar kita bisa
menjadikannya batu loncatan untuk membangun komunikasi dengan para siswa. The
Avenger, Transformer, Amazing Spiderman, blah blah blah ……Nikmati juga SMA*SH,
Suju, Cherrybelle, Detective Conan, Doraemon, Naruto sampai Shinchan sekalipun.
Saya mengerti sekali bahwa sebagian kita akan terasa kurang nyaman saat
menikmati menu yang barusan saya tawarkan. Tapin sadarilah, kita yang harus
masuk ke dunia anak-anak/remaja karena mereka tidak akan bisa mengerti betapa jadul-nya dunia kita.
Mau, kan ?
akhr nya menyebutkan nama CherryBelle
BalasHapus