Terlalu sedikit
informasi yang kita dapatkan tentang Yusuf, ayah Yesus, dari dalam Alkitab.
Kita hanya tahu bahwa Yusuf adalah keturunan Daud yang mempunyai hati yang
tulus. Profesinya sendiri sebagai tukang kayu tidaklah bombastis. Terlalu
sederhana malah. Dalam kesederhanaan itu, Yusuf hanya mampu mempersembahkan
burung merpati saat acara baby dedication
buat Yesus dalam rumah Tuhan.
Tapi percayalah
bahwa Yusuf adalah pria pemberani. Hanya pria yang memiliki keberanian luar
biasa saja yang mampu menerima wanita yang jelas-jelas hamil lebih dulu sebagai
istrinya hanya dengan berbekal konfirmasi lewat mimpi. Adakah pria zaman
sekarang yang sanggup melakukan hal yang serupa? Saya sendiri berpikir,
andaikan orang-orang Yahudi secara beringas hendak merajam Maria dengan asumsi
telah melakukan perzinahan, siapa yang akan pasang badan terlebih dulu? Akankah
muncul pertolongan dari surga? Saya pikir intervensi ilahi itu ada pada diri
seorang laki-laki bernama Yusuf. Dialah yang pasti akan memasang badan lebih
dulu.
Saat Yesus belia
hilang di Bait Allah di usia 12 tahun, Maria mungkin lebih panik dan ekspresif.
Tapi dalam kebekuan hati seorang pria Yahudi yang sarat akan tata krama dan
aturan, tentu terselip rasa gundah dan kegalauan yang luar biasa di hati Yusuf.
Ia mungkin merasa menjadi pria paling invalid sedunia saat tahu bahwa anaknya
hilang di tengah kerumunan massa. Untung saja, Yesus kecil tidaklah benar-benar
hilang. Ia ada di dalam rumah Bapa-Nya.
Kembali saya
mencoba untuk merenung hingga tiba di depan gerbang pemikiran seperti ini.
Bagaimana perasaan Yusuf saat tahu bahwa Bocah Kudus yang ada dalam asuhannya
adalah Allah Yang Maha Tinggi? Pernahkah Yusuf merasa sungkan bila harus
menegur Yesus? Atau apakah Yesus adalah remaja badung nan alay sehingga
membutuhkan teguran, bimbingan, atau bahkan hardikan Papa Yusuf? Untuk yang
satu ini, Alkitab benar-benar membisu. Diam seribu kata.
Pasca kejadian
hilangnya Yesus dalam bait Allah, nama Yusuf seolah lenyap ditelan setiap halaman
kitab suci. Menghilang begitu saja tanpa keterangan. Jika Maria menerima pengagungan yang begitu luar biasa dari
sebagian kelompok gereja, Yusuf seolah terlupakan. Meskipun dalam tradisi
gereja, Yusuf dianggap sebagai seorang santo nan kudus, namun tetap saja
apresiasi yang melekat padanya tetap dirasa kurang semarak. Kiranya Allah Yang
Maha Tinggi sendiri yang memperhitungkan apa yang sudah dilakukan oleh Yusuf
beserta dengan jutaan ayah yang lain.
Para ayah tidak
pernah dan tidak perlu melakukan protes saat lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut.
Tidak pentinglah bagi ayah untuk menjadi gundah saat lagu Umi yang bernafaskan
nilai Islam diperdengarkan. Tidak pernah jadi masalah apakah ada surga
terpampang di telapak kaki ayah atau tidak. Saya pikir bukan seperti itu yang
didambakan oleh setiap ayah di muka bumi. Asalkan anak dan istrinya merasa aman
dan tentram, cukuplah itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar