Senin, 14 Maret 2011

FILM HOROR CENAT CENUT


Seorang teman sempat memberitahu saya lewat account twitter-nya pada tanggal 24 Februari 2011 tentang sebuah fenomena menarik yang terjadi hari itu di Jakarta. Di bioskop Mulia Agung di bilangan Senen berderet-deret film-film Indonesia sebagai berikut: Kalung Jelangkung, Pocong Ngesot, Arwah Goyang Karawang, Love Story, dan Pelukan Hantu Gondrong. Sepertinya film-film nasional tengah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Namun dengan seragamnya genre film yang tengah beredar bisa menjadi indaktor awal keringnya daya kreatifitas dari para sineas kita. Apalagi cita rasa dari film-film tersebut terasa sangat jauh dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kebangkitan film nasional dalam dasawarsa terakhir ini memang sangat mengembirakan. Ditandai dengan dobrakan Riri Riza dengan film Petualangan Sherina, lalu kemudian diikuti dengan film remaja sensasional: Ada Apa Dengan Cinta?, film idealis: Soe Hok Gie, film komedi penuh sindiran: Nagabonar Jadi 2, film bertema pendidikan: Denias dan Laskar Pelangi, sampai film yang menurut saya pekat banget unsur SARA-nya: Ayat-Ayat Cinta. Jenis film horor juga tidak mau ketinggalan. Muncul film Jailangkung karya sutradara Dimas Jay yang agaknya menjadi pelopor pembuatan film horor nasional di era millennium baru. Kesuksesan film ini kemudian ternyata menimbulkan gejala latah yang segera menyeruak di dada para sineas kita dengan muculnya film-film genre senada dengan kualitas seadanya.

Apabila mengacu pada sejarah, pembuatan film horor di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1934 dengan lahirnya film Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item). Dilihat dari judulnya, tentunya kita dapat menerka bahwa ada aroma Tionghoa yang sangat kental di dalamnya. Asumsi itu memang beralasan, karena film horor Indonesia berlatarbelakang cerita Tionghioa sangat mendominasi bioskop lokal di era itu sampai tahun 1969.

Harus diakui bahwa genre horor memang cukup mendapat tempat di hati sebagian pecinta film nasional. Ditandai dengan munculnya film horor legendaris Beranak dalam Kubur (1971) yang melambungkan nama Suzana sebagai salah satu ikon film nasional. Film ini ternyata mampu menarik apresiasi dari khayalak luas dan sanggup menjadi katalisator munculnya film-film horor selanjutnya. Namun konsistensi dalam menganggkat tema mistik ternyata pada perkembangannya harus bercumbu rayu dengan bumbu sexualitas. Film-film sampah ini begitu merajai bioskop-bioskop lokal pada era 1990-an yang kemudian berujung pada ambruknya perfilman kita.

Saat ini ada kecenderungan perfilman kita sedang mengalami stagnasi setelah melewati era kebangkitan. Tema film cenderung tidak bervariasi, menekankan unsur sensualitas, dan miskin kreatifitas. Lebih parah lagi setelah isu pemboikotan film Hollywood mengemuka, bioskop-bioskop kita dipenuhi dengan film-film sampah ala era 90-an.

Saya tidak pernah bermasalah dengan film horor. Bahkan saat remaja, saya begitu gandrung dengan film horor amrik berjudul Bram Stoker’s DrĂ¡cula. Namun bila sensasi tubuh wanita yang menjadi suguhan utama berbalut dengan nukilan mistis irasional, saya pikir, tentu saja tidak untuk membuat penonton terpacu adrenalinnya namun lebih untuk memacu naluri “ketakutan” yang lain.


Film bombastis Arwah Goyang Jupe Depe yang sebelumnya diberi judul Arwah Goyang Karawang, misalnya, sarat dengan adegan erotis Julia Perez dan Dewi Persik sebagai pemeran utama. Meskipun penonton dimanja dengan “keindahan” gambar, alur cerita dan skenario film itu cenderung membingungkan dan tidak logis. Secara kulitas tentu film ini tidak mampu dibandingkan dengan film amrik berjudul Devil yang baru saja saya tonton hari Minggu kemarin. Meskipun mudah diterka bagian ending-nya, Devil ternyata tetap konsisten menghadirkan konsep horor tanpa dibumbui unsur sensualitas.

Bangsa ini memang tengah terpuruk. Terjerembab nyaris di segala bidang. Kita memang patut berbangga dengan beragamnya kebudayaan yang kita miliki sebagai salah satu representasi dari ekspresi kebebasan berpikir dan berekspresi. Namun bila budaya tersebut dijejali dengan tontonan sampah yang tidak inspiratif, saya khawatir mentalitas bangsa ini akan semakin kerdil dan tidak mempunyai daya saing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar