Jumat, 04 Januari 2013

MENARIK ATMOSFER ALLAH



Di sekolah tempat saya mengajar, murid-murid dibiasakan untuk berdoa sebelum memulai pelajaran. Biasanya salah satu dari mereka saya minta untuk maju ke depan kelas untuk memimpin doa. Biasanya yang terjadi adalah siswa langsung nerocos dengan berbagai permintaan yang tersimpan di batang otaknya. Seolah-oleh semuanya berhamburan keluar, melompat ke depan tahta Allah untuk menantikan Yang Maha Tinggi berkata, “Ya anak-Ku. Semua permintaanmu telah Kusetujui.” Biasanya saya langsung menghentikan prosesi doa dan kemudian mengingatkan siswa tersebut sambil berkata, “Hai Nak, kau lupa satu hal. Biasakanlah untuk mengucap syukur terlebih dahulu.”

Pentingkah mengucap syukur? Oh ya, tentu saja. Dengan mengucap syukur tidak berarti kita mencoba mengubah dan mempengaruhi Tuhan. Ia tetap sama, dulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya. Mengucap syukur itu sesungguhnya mengubah kita karena kita diingatkan tentang kebaikan Tuhan. Seseorang yang tidak bersyukur sama artinya dengan berdiri di atas kesombongan.

Saya ini suka acara makan-makan. Fakta itu sedikit banyak menggiring saya untuk menjadikan peristiwa Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan menjadi salah satu kisah mujizat favorit saya. Tapi ingatkah kita bahwa mujizat itu didahului dengan ucapan syukur yang dilakukan Tuhan Yesus? Peristiwa kebangkitan Lazarus dari kematian pun juga dimulai dengan pengucapan syukur terlebih dahulu. Jelas sudah bahwa sesungguhnya mengucap syukur adalah sama dengan membuka akses bagi surga untuk turut bekerja.

Pada tahun 1997, gereja tempat saya biasa beribadah dibakar massa. Kerusakan yang ditimbulkan sangatlah parah. Mimbar dan bangku-bangku gereja hancur berantakan, lantai gereja dipenuhi dengan pecahan kaca jendela, banyak alkitab yang gosong terbakar, bahkan rumah pastori pun dipenuhi dengan tinja manusia. Memang kerusuhan itu tidak sampai memakan korban jiwa, tapi percayalah sobat, seluruh jemaat benar-benar shock dan diliputi ketakutan yang amat sangat.

Ibadah perdana pasca kerusuhan hanya diikuti oleh beberapa keluarga saja. Meskipun masih takut, kami nekat saja beribadah di antara puing-puing gereja. Tidak ada semerbak pengharum ruangan. Tiada pula iringan musik. Kemeriahan, sorak pujian, dan tepuk tangan juga sirna. Yang ada cuma abu dan debu yang bersanding dengan aroma benda yang terbakar. Beberapa ibu nampak tidak bisa lagi membendung air mata saat lagu penyembahan dinaikkan. Saya turut hadir di situ sambil mempertanyakan di manakah Allah, Sang penjaga Israel. Pikiran remaja saya gagal menemukan bukti proteksi total Tuhan terhadap jemaat-Nya. Namun sejurus kemudian, Bapak Gembala kami berkata dengan suara bergetar, “Tuhan Yesus, ajar kami untuk berterima kasih...!”

What? Berterimakasih untuk apa? Atas dasar apa lagi kita harus bersyukur? Semuanya sudah sirna dan berantakan. Protes saya benar-benar tidak berujung. Sampai kemudian saya sadar bahwa ucapan Bapak Gembala tadi mampu menguatkan jemaat. Jemaat terus bernyanyi dan bernyanyi. Walaupun daging menolak, tapi kami mengambil keputusan untuk menyalibkannya dan terus bersikeras untuk bersyukur. 

Pahitnya hidup memang sering mebuat kita sulit untuk mengucap syukur. Problem kehidupan yang berat membuat bibir lidah kita kesulitan untuk bersyukur. Sepertinya tidak ada hubungan yang logis antara permasalahan yang rumit dengan pengucapan syukur. Tapi kemudian sekarang saya mengerti bahwa mengucap syukur itu tidaklah dipengaruhi oleh keadaan di sekitar kita. Mengucap syukur itu adalah keputusan.

Apapun dan bagaimanapun keadaan kita, pastikan untuk selalu bersyukur karena dengan melakukannya, kita sama dengan menarik atmosfer Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar