Senin, 27 Desember 2010

Garuda Tetap di Dada

Kekalahan Timnas Garuda melawan Malaysia pada pertandingan ahad lalu memang sangat menyesakkan dada. Bagaimana tidak, Timnas yang selama babak penyisihan tampil sangat superior, harus menerima kenyataan pahit kalah tiga gol tanpa balas pada pertandingan final leg 1 di Stadion Bukit Jalil. Lepas dari permasalahan nonteknis yang jelas-jelas terlihat malam itu, penampilan Timnas Malaysia memang sangat berbeda saat mereka dihajar Indonesia dengan skor telak 5 – 1 pada pertandingan babak penyisihan. Mereka tampil lugas dan penuh percaya diri.

Tim kita sebenarnya tampil baik, terutama di babak pertama. Beberapa peluang berhasil kita ciptakan, salah satunya melalui kerja sama one two antara Christian “El Loco” Gonzales dan Ahmad Bustomi. Firman Utina pun sempat juga melakukan tendangan yang membahayakan gawang lawan via eksekusi tendangan pojok. Bahkan Gonzales sempat berhasil mencetak gol walaupun harus dianulir karena sudah terjebak offside. Namun skenario manis tersebut berantakan saat pertandingan memasuki menit ke-54 ketika pertandingan harus dihentikan karena gangguan sinar laser yang ditembakkan oleh suporter Malaysia ke arah wajah para pemain kita. Pasca insiden itu, Timnas seakan kehilangan momentum dan bencana pun terjadilah.

Malaysia bermain luar biasa dan jauh lebih baik dari Timnas kita memang adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Pelatih Alfred Riedl pun enggan menyalahkan sinar laser sebagai penyebab kekalahan timnya. Pria Austria itu mengatakan bahwa timnya kalah karena para pemain kehilangan konsentrasi dan tim lawan bermain lebih baik. Sebuah pernyataan yang gentle, bukan? Riedl sungguh seorang sportman sejati. Baginya, kalah ya tetap kalah. Ia tidak mau mencari kambing hitam yang bersifat non teknis padahal semua orang tahu, penyebab utama kekalahan itu adalah tembakan sinar laser yang membelah wajah para pemain kita sehingga konsentrasi mereka buyar. Belum lagi petasan gedhe yang sempat meledak di tengah lapangan. Huh ….sinar laser….petasan…..emangnya ini perayaan tahun baru?

Tapi ya sudahlah…. Tak ada guna kita meratapi kejadian yang sudah berlalu. Namun meskipun demikian, ada beberapa hal lain yang perlu dianalisis karena patut diduga telah memberikan sumbangsih yang tiada terkira pada terjerembabnya Timnas kita saat bertanding hari Minggu lalu.

Seorang Budiman Sudjatmiko pernah mengatakan bahwa Timnas sepak bola kita yang ini merupakan tim yang yang paling kuat bumbu politisasinya. Saya setuju dengan pernyataan politisi muda PDIP itu. Kenapa? Negeri ini membutuhkan para pahlawan yang mampu memberikan kebanggaan buat bangsa. Ada banyak figur politisi yang sebelumnya juga diharapkan menjadi pahlawan bangsa. Tapi apa hasilnya? Nisbi..! Rakyat capek menyaksikan carut marut bangsa yang seolah bergerak tanpa henti. Di saat itulah, Timnas sepak bola kita tampil begitu perkasa. Mengganyang Malaysia 5 – 1, memukul Laos setengah lusin tanpa balas, mematahkan hegemoni Thailand 2 – 1 , dan dua kali memecundangi Filipina yang kental dengan aroma naturalisasi di babak semi final.

Apa yang terjadi kemudian? Aburizal Bakrie, seorang tokoh politik di negeri ini kemudian mengundang para pemain untuk menghadiri acara sarapan bersama di kediamannya. Hey man..! Nggak ada yang salah dengan undangan sarapan bareng, namun harus diingat bahwa semalam para pemain baru saja berjuang setengah mampus melawan Filipina. Tidakkah kita bisa melihat melaui layar televisi ekspresi wajah-wajah kuyu para pemain dan ofisial saat menyantap hidangan yang dipersiapkan? Semua pihak memang berhak memberikan apresiasi terhadap keberhasilan Timnas. Tapi ingat! Timnas kita belum juara. Dan kalaupun juara, itu baru di tingkat Asia Tenggara. Aktifitas sowan ke kediaman Aburizal Bakrie memang bisa ditafsirkan macam-macam. Apalagi di akhir acara sang konglomerat kemudian menghibahkan tanah seluas 25 ha bagi PSSI sebagai basecamp latihan. Ada motif apa ini? Mendompleng popularitas Timnas kah demi meraup simpati dan suara rakyat? Daripada memberikan tanah seluas itu, lebih baik kan membereskan kasus Lapindo Porong yang belum tuntas hingga detik ini.

Faktor lain adalah terlalu banyaknya agenda di luar sepak bola yang harus dipenuhi oleh Timnas kita. Undangan dari pihak sana, wawancara dengan stasiun televisi ini, bahkan yang paling membuat miris adalah hadirnya seluruh awak Timnas pada acara istighosah kolosal yang digagas oleh Nurdin Halid di sebuah pondok pesantren di bilangan Jakarta Barat. Siraman rohani memang perlu, tapi tidak bisakah menghadirkan para pemuka agama ke markas Timnas? Hasilnya, para pemain menjadi objek bulan-bulanan para santri dan santriwati di sana. Dicubit pipinya, diajak foto bareng, dijambak, dibetot ke sana, ditarik ke sini …! Oh my goodness…para pengurus PSSI ini ngerti bola, nggak seh?

Fokus para pemain memang benar-benar terganggu. Pemberitaan melalui media massa juga terlalu berlebihan. Para pemain dipuja setinggi langit, dielu-elukan bak seorang Julius Caesar yang baru merebut Roma. Lagu Garuda di Dadaku milik Netral seakan menjadi hymne wajib bagi semua stasiun televisi. Acara berita, infotainment, diskusi, ….semua ngomong tentang sepak bola, mengalahkan berita sidang Gayus, meminggirkan berita pelantikan ketua baru KPK, memarjinalkan berita kasus Presiden vs Sultan, dan melupakan berita bergolaknya Gunung Bromo. Pedasnya kenaikan harga cabe dan dinginnya badai salju yang menghajar Amerika Serikat dan Eropa juga tidak dirasakan. Semuanya terbius dengan eforia keberhasilan sementara Timnas. Kita seakan lupa bahwa Timnas belum menjadi juara ….

Kekalahan Timnas atas Malaysia tiga gol tanpa balas memang sulit untuk dilupakan. Tapi kita bisa memetik hikmah dari tragedi itu. Paling tidak kita sadar bahwa Timnas masih perlu untuk belajar. Paling tidak para pengejar berita juga mendapat pencerahan bahwa ada baiknya mereka memberikan ruang yang lebih lapang buat para pemain untuk lebih berkonsentrasi. Tidak ada lagi wawancara eksklusif sampai ke kabin pesawat seperti yang dilakukan TV One beberapa hari yang lalu, tidak ada lagi undangan makan-makan, tidak ada lagi acara istighosah, tidak ada lagi motif politis, ….biarkanlah para pemain fokus pada pertandingan.

Defisit tiga gol memang sulit untuk ditebus. Alfred Riedl sendiri terang-terangan menyebutkan bahwa peluang Indonesia untuk menjadi juara tinggal 10%. Namun tidak ada yang mustahil di muka bumi ini. Ia menjanjikan bahwa para pemain Timnas siap melakukan perlawanan sampai berdarah-darah. Cetak gol pertama dulu….baru disusul dengan gol-gol yang lain.

Suporter Indonesia juga tidak perlu membalas aksi suporter Malaysia beberapa waktu yang lalu. Sesungguhnya suporter Indonesia mampu bertindak jauh lebih anarkis dibandingkan dengan tindakan suporter Malaysia. Pengalaman dinamika suporter Indonesia Super League bisa dijadikan indikatornya. Ada Jackmania yang sering bertindak nggak pake otak, ada Bonek yang ngawur abis, ada Aremania yang ngakunya suporter nomor satu tapi hot juga kalo diajak ribut. Ada Viking, LA Mania, Pasopati,….semuanya, mereka bisa bertindak jauh lebih beringas. Tapi tokh buat apa? Kita mau tunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab dan sportif.

Ayo Garuda………….! Kau tetap di dada kami……
DAMN …. I LOVE INDONESIA ……………..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar