Senin, 18 April 2011

ELEGI MALAM DI PORONG SETAHUN LALU

Aku terjatuh dari motor semalam. Sakitnya masih terasa hingga saat ini. Membuatku berjalan tertatih-tatih. Apalagi ketika harus naik ataupun turun melalui anak tangga di tempatku bekerja. Duh…susah sekali. Aku merasa jauh lebih tua dari usiaku yang sebenarnya.

Semalam memang berat sekali di Porong. Banjir selutut menyeruak sampai di pintu gerbang tol. Untung Varioku nggak mogok. Padahal ada banyak kuda besi lain yang mulai rewel-rewel. Meraung-raung fals karena knalpotnya mulai kemasukan air. Sementara itu, mobil-mobil pribadi pun juga hanya mampu berdehem-dehem pasrah. Dikepung oleh serbuan air dan himpitan truk-truk besar yang berdiri angkuh tanpa budaya.

Porong memang tidak seperti dulu.

Dahulu Porong sempat ngetop karena seorang Marsinah, buruh wanita yang memperjuangkan hak-haknya. Entah karena terlalu idealis atau memang karena resek sehingga nggak bisa diam, perjuangan Marsinah membuat merah telinga Sang Penguasa. Yang jelas, beberapa waktu kemudian Marsinah sudah ditemukan dalam keadaan mengenaskan tanpa nyawa.

Porong juga merupakan kota yang dinamis. Sebagai pintu gerbang menuju daerah delta Surabaya, peran kota ini dalam menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur bagian timur sangatlah strategis. Ibaratnya, sebelum engkau bisa menyentuh peradaban Surabaya, lewati Porong dahulu dengan keruwetan pasarnya.

Tapi saat ini, Porong tak ubahnya sebagai seorang pesakitan. Kota ini harus menerima kenyataan bahwa di bawah lapisan tanahnya terdapat sebuah mud volcano maha besar yang mencoba untuk menerobos keluar. Porong mulai kehilangan kepercayaannya, seiring dengan merosotnya kepercayaan warganya terhadap Pemerintah yang menegaskan bahwa fenomena ini merupakan intervensi alam dan bukan dipicu oleh tangang-tangan jahil manusia.

Bagiku, dinamika Porong hanya bagian dari masa lalu. Saat ini terdapat danau lumpur raksasa yang tidak pernah engkau jumpai sebelumnya, paling tidak dalam 10 tahun terakhir di kota ini. Semalam aku sempat melintasi jalan di depan danau mud volcano itu. Banjir membuat perjalanku sangat terhambat. Gelembung-gelembung gas kulihat muncul dari dalam air di berbagai sudut jalan. Menandakan bahwa sebenarnya ada potensi energi di bawah lapisan tanah Porong.

Banjir mulai surut ketika aku memasuki pusat kota Porong. Segera kupacu motorku dengan penuh nafsu karena yang terbayang di pelupuk mataku hanya bantal guling plus tempat tidurku. Karena kurang waspada, terjerembablah aku di ujung jalan sana.

Surabaya, 19 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar