Rabu, 06 April 2011

Surabaya, Kota Seribu Sungai


Judul di atas sangatlah provokatif. Surabaya bukanlah seperti Venice, sebuah kota air di Italia yang terkenal elok nan jelita sehingga mampu menarik banyak wisatawan untuk mengunjunginya. Surabaya juga bukanlah Amsterdam yang terkenal akan pengaturan airnya yang sistemastis dengan jaringan kanal-kanalnya. Sangat jauh bila membandingkan Surabaya dengan kedua kota tersebut. Namun bila musim penghujan tiba, pernyataan yang menegaskan bahwa Surabaya identik dengan genangan air ada benarnya.

Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaja Tempo Doeloe, pernah menulis bahwa Surabaya dulunya merupakan sebuah “pulau” yang dipisahkan oleh Kali Mas dari daratan Jawa. Selain menjadi sumber air bagi para penduduk, aliran Kali Mas seolah ditakdirkan sebagai “benteng” alami yang melindungai Surabaya dari serangan musuh. Orang sekaliber Sultan Agung dari Mataram pun pernah dibuat pusing tujuh keliling ketika berniat menaklukkan kota ini. Bukan karena orang-orang Surabaya mempunyai persenjataan canggih, tapi ya itu....keberadaan Kali Mas seakan menjadi penghalang derap laju pasukan Kesultanan Mataran.

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda menguasai Surabaya, dibangunlah beberapa pintu air untuk mengendalikan debit air dari Kali Mas. Rupanya sejak dahulu Kali Mas berpotensi untuk medatangkan banjir bagi Surabaya. Tidak berhenti sampai di situ saja. Orang-orang yang kita cap penjajah itu juga membangun gorong-gorong air di seantero Surabaya lama yang keberadaanya masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Alasan pembangunan itu satu: agar penduduk Surabaya tidak kerepotan dalam menghadapi air yang kerap kali menggelora saat hujan tiba.

Zaman memang terus bergulir. Penjajah sudah lebih dari setengah abad minggat dari Surabaya. Kota ini terus berupaya untuk berbenah. Bersolek. Tambal sana tambal sini. Walikota yang satu berganti dengan walikota yang lain. Tapi tetap saja masalah gelora air (baca: banjir) menjadi problematika tersendiri bagi kota ini. Kisah prestasi pintu air dan gorong-gorong warisan orang-orang negri seberang itu sudah menjadi romantisme masa lalu.

Bila musim hujan datang menantang, sontak akan bermunculan “sungai-sungai” yang mengalir lumayan deras. Membelah Surabaya dari segala sektor. Seakan-akan hendak menyaingi eksistensi Kali Mas yang sudah ada sejak zaman purbakala. Ada Sungai Ahmad Yani, Sungai Mayjen Sungkono dengan Cekungan Vida sebagai palungnya, Sungai H.R. Muhammad, Sungai Majapahit, Sungai Tumapel, Sungai Dinoyo, Sungai Kupang Krajan, Sungai Banyu Urip, Sungai Bronggalan , dan sungai-sungai lain yang masih mengantri giliran untuk tampil pada coretan ini.


Alhasil, area-area di atas seolah-olah menjadi the kiliing field bagi para pengguna jalan. Kemacetan merajalela di mana-mana, berpadu dengan suara fals knalpot kendaraan yang kemasukan air, serta berbaur dengan bau got dan sumpah serapah khas Arek Suroboyo yang kompak menyanyikan satu koor dalam nada minor yang berbunyi, “c*k, nangdi polisine iki??”

Keberadaan sungai-sungai musiman tadi juga diiringi dengan bermetamorfosisnya lapangan sepakbola Gelora 10 November Tambaksari. Alih-alih membandingkan kualitas lapangan dengan Old Traford yang memiliki kualitas drainase nomor wahid. Sanggup membedakan antara lapangan dengan sawah tadah hujan saja sudah merupakan prestasi tersendiri.

Terus, yok opo iki? Mosok Kota Pahlawan kalah ambek urusan banyu? Mengritisi performa kerja Pemerintah Kota memang sah-sah saja. Apalagi demo sambil membawa kerbau bertuliskan SBY (kali ini benar-benar singkatan dari Surabaya), lalu dilepas di rerumputan Gelora 10 November Tambaksari. Wah.............! Panggung cakrawala berpikir kita harus tampil lebih elegan. Memberikan kritik tanpa menawarkan solusi tak ubahnya seperti aksi gagah-gagahan belaka yang hanya mengundang keprihatinan dan perasaan tidak simpatik.
Pemerintah perlu dibantu, tidak hanya dihujat demi memuaskan ambisi pragmatis saja. Sehebat apapun rencana yang ditawarkan untuk mengendalikan banjir, jika tidak memperoleh dukungan dan peran serta aktif masyarakat, tentu hasilnya akan nisbi belaka. Masyarakat perlu diberdayakan.

So, berhenti jadi penonton, kendurkan urat syaraf perselisihan,.......mari turun tangan bahu membahu menyelamatkan kota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar