Miris membaca huluwarta Jawa Pos hari ini,
Selasa 11 Desember 2012 yang berbunyi “FIFA, Tolong Hukum Kami”. Nuansa yang
tersirat kalimat tersebut sungguh getir. Begitu mendamba hukuman sebagai jalan
keluar terbaik dari konflik berkepanjangan antara PSSI dengan sekelompok orang
yang menyebut dirinya sebagai Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Pertikaian kedua belah pihak sangat sengit dan menguras energi sampai
kepentingan nasional dan kehormatan bangsa rela untuk tergadaikan.
Bagi saya, tidak
penting untuk menilai siapa yang benar atau salah dalam konflik ini. Semuanya terasa sumir dan memuakkan.
PSSI selalu bersembunyi di balik statuta FIFA dan sudah menutup mata terhadap
fakta yang tumbuh dan berkembang. Sedangkan KPSI sendiri bertindak laksana
preman tak berbudaya: tak tahu malu melarang sejumlah anak bangsa terbaik
mengenakan kaos dengan emblem Garuda di dada untuk menegakkan panji merah putih
di tetangga..
Lupakan sudah keluhuran bangsa Indonesia. Tidak
mau sudah mereka yang bertikai untuk sekedar duduk bersama memecahkan
problematika yang ada dengan kepala dingin. Semuanya ngotot merasa yang paling benar sementara para pecinta sepak bola
terpecah pendiriannya menjadi dua kubu. Semuanya ikut berperang kata-kata walau
sekedar di dunia maya. Ada yang pro Prof. Djohar, namun tak sedikit pula yang
menyanjung La Nyala bagaikan dewa. Ada yang mencaci PSSI dengan dibumbui salam
10 – 0, namun banyak pula yang yang menghakimi KPSI sebagai anjing peliharaan
Bakrie. Beberapa pihak mencela Indonesia Premier League (IPL) buatan PSSI
sebagai liga tarkam, tapi tidak sedikit pula yang nyinyir dengan Indonesia Super League (ISL) sebagai sarang mafia
dan pengaturan skor. Huh …gaduh sekali!
Mengharapkan bantuan Pemerintah untuk
menyelesaikan konfil PSSI – KPSI juga terasa sia-sia. Laksana mencari ketiak di
perut cacing saja. Useless. Buya
Ismail pernah bilang bahwa mengharapkan ketegasan SBY itu sama dengan berharap
munculnya tanduk dari kepala seekor kuda. Mitologi unicorn memang ada. Tapi itu
legenda antahberantah nun jauh di sana. Tidak pernah ada di Indonesia. Menteri
Pemuda dan Olahraga-nya saja kesandung masalah hukum. Jadi lupakan saja!
Apakah benar sangsi FIFA merupakan solusi
terbaik?
Entahlah…, yang jelas hal ini merupakan pululan
telak bagi dunia persepakbolaan tanah air. Timnas kita
akan dilarang bertanding di semua event sepak bola internasional, mulai dari
SEA Games, AFF Cup, Asian Cup sampai World Cup. Para pemain asing pun ogah
untuk merumput di Liga Indonesia.
Di samping itu, tidak ada satu pun
timnas negara lain yang mau bertanding dengan timnas kita. Pihak sponsor juga
jadi enggan untuk mendekat. Potensi hebat para pemain junior di semua level
usia jadi terkebiri. Singkatnya,
Indonesia akan
terisolir dari dunia sepak bola dan hanya jadi jagoan di kandang saja.
Ada
pihak yang memandang bahwa jatuhnya sangsi dapat melahirkan momentum yang tepat
untuk berbenah diri. Bubarkan
PSSI dan KPSI lalu pilih orang-orang baru yang berkompeten dan berintegritas.
Kita dapat memulainya lagi dari awal untuk menggulirkan liga sepak bola
baru yang lebih profesional, zonder APBD, dan jauhkan sepak bola dari
ajang politik praktis. Kita punya figur-figur seperti Jokowi, Dahlan Iskan,
Mahfud M.D., Rhoma Irama (?) atau mantan para pemain sepak bola yang punya
dedikasi dan totalitas mumpuni.. Temukan juga Menpora yang tegas, yang tidak
hanya sibuk memelihara kumis tapi juga bertanggungjawab penuh terhadap proses
monitoring terhadap PSSI beserta dengan program-programnya. Libatkan pula
rekan-rekan pers untuk memastikan agar PSSI tetap berjalan di jalar yang benar.
Jangan seperti TV One dan ANTV yang absurd pemberitaannya terhadap sepak bola
nasional.
Namun ….saya tetap berharap agar Indonesia
tidak dijatuhi hukuman. Bila tanpa sangsi ternyata kita mampu merestorasi
kehormatan bangsa, tentu kita tidak perlu lagi memelas untuk mendapatkan
hukuman.
Jadi …..
Bubarkan PSSI dan KPSI sekarang juga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar