Sabtu, 08 Desember 2012

ANDI VERSUS ACENG



Keputusan Andi Alfian Mallarangngeng untuk mundur dari jabatan Menpora agaknya menjadi hal baru dalam dunia perpolitikan tanah air. Sebelumnya tidak pernah ada pejabat publik yang dengan legowo mengundurkan diri dari jabatannya bila tersandung masalah hukum. Bukannya membela Andi, tapi saya berpikir bahwa langkah mundur sang menteri patut dikritisi  sebagai sebagai tindakan yang gentle dan layak untuk dipuji.

Andi Alfian Mallarangngeng memang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu tersangka korupsi proyek kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor. Ia memilih mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu karena merasa tidak dapat dengan efektif melakukan tugas-tugasnya pasca pencekalan dirinya untuk bepergian ke luar negeri. Di samping itu Andi juga tidak ingin menjadi beban bagi Presiden Yudhoyono dan memilih untuk berkonsentrasi menghadapi permasalahan hukum yang dialaminya.

Sejarah mencatat bahwa sudah beberapa kali pejabat publik di negeri ini tersandung masalah hukum. Namun tak satu pun dari mereka yang mau untuk mengundurkan diri. Budaya malu itu tidak dikenal di Indonesia. Bandingkan dengan Jepang. Para pejabat mereka dengan elegan mau meletakkan jabatannya bila terindikasi terlibat dalam sebuah pelanggaran hukum. Menjadi terduga saja agaknya menjadi sinyalemen akhir tercemarnya kredibilitas yang mereka miliki.

Kita ini memang punya semboyan nasional yang kita pelajari semenjak duduk di bangku sekolah: Maju Terus Pantang Mundur. Para pejabat kita rupanya begitu mengamini dan menjiwai jargon luhur tersebut. Mereka enggan mundur walaupun jelas-jelas cacat integritas, moral, dan etika. Mereka lebih memilih dimundurkan dari daripada mengambil inisiatif mengundurkan diri dengan ksatria.

Lihat saja prilaku Bupati Garut Aceng Fikri yang tersandung permasalahan etika karena kasus skandal pernikahan kilatnya dengan gadis di bawah umur. Aceng Fikri tetap bersikukuh bahwa kasus yang menimpa dirinya merupakan permasalahan pribadi yang sengaja dibawa oleh pihak-pihak tertentu ke ranah politik. Andaikan benar bahwa memang ada semacam konspirasi untuk menjegal sang bupati, tapi substansi pernikahan kilat Aceng Fikri tetap sebuah fakta tercela yang terbukti membuatnya kehilangan simpati dari masyarakat Garut. Singkat kata, sampai hari Aceng Fikri tetap menjabat sebagai Bupati di Garut sana.

Andi Alfian Mallarangngeng dan Aceng Fikri menjadi contoh gamblang perilaku para pemimpin di tanah air. Pemimpin itu bukan semata –mata masalah posisi dan jabatan tapi seyogyanya memberikan pengaruh positif bagi masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan pendidikan etika berpolitik dan berdemokrasi yang baik. Terbukti bersalah atau tidaknya Andi itu masalah lain. Tapi keputusan mundur yang diambilnya meninggalkan teladan berpolitik bagi kita semua. Jauh lebih bermakna daripada kengototan seorang Aceng Fikri yang terlihat begitu kemaruk akan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar