Rabu, 22 September 2010

Arifin Panigoro Cari Perkara?

Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas tim peserta Indonesian Super League (ISL) menggunakan pasokan dana APBD sebagai biaya operasional. Setahu saya, cuma Arema Indonesia dan Bontang FC saja yang pendanaannya benar-benar independen. Sisanya mengemis pada APBD. Anggaran belanja yang seharusnya dipakai semaksimal mungkin untuk mensejahterakan rakyat ternyata dipakai jor-joran untuk ngurusi sepak bola.

Tim-tim peserta ISL memang membawa kebanggaan daerah. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan utama bagi daerah yang bersangkutan untuk mendukung kesebelasannya secara all out. Dana milyaran rupiah digelontorkan untuk membentuk tim yang hebat. Sayangnya, banyak tim yang menempuh jalan instant. Daripada melakukan pembinaan terhadap pemain usia muda, mereka lebih condong untuk mendatangkan pemain jadi dari daerah maupun negara lain.

Dinamika dan komposisi pemain dalam sebuah tim sering kali juga ditentukan oleh orang yang bergerak di balik layar. Bukan pelatih ataupun manajer tim, melainkan kepala daerah.
Jika gubernur/bupati/walikotanya seorang yang benar-benar gila bola, maka majulah tim tersebut. Tapi bila sang penguasa daerah lengser ataupun sibuk ngurusi pilkada, maka dapat dipastikan tim yang bersangkutan akan mengalami kemunduran prestasi. Kesimpulannya, jika ingin memiliki tim sepakbola kuat dengan dana melimpah, pastikan memiliki backing penguasa yang yang kuat juga.

Nggak percaya? Ada banyak contohnya. Kita bahas salah satu saja, ya …

Persebaya adalah salah satu tim legendaris Indonesia. Di pertengahan era 90-an, tim ini pernah menjadi tim super di percaturan sepak bola nasional. Pemain-pemain tebaik nasional nan mahal didatangkan. Demikian pula dengan para pemain asingnya. Nilai kontrak dan gaji pemain pun meroket tajam. Tapi hal tersebut tidak jadi masalah karena ada tokoh elit gila bola di balik proyek tersebut: Walikota Sunarto Sumoprawiro. Pendek kata, Surabaya boleh banjir, tapi Persebaya harus berjaya!

Pengganti Cak Narto kebetulan adalah tokoh yang kurang suka dengan sepak bola. Background Bambang D.H. adalah seorang pendidik. Beliau lebih concern ngurusi Surabaya secara menyeluruh daripada hanya Persebaya. Hasilnya kemudian jelas. Persebaya akhirnya terjerembab ke kasta bawah. Malah kabarnya, kontrak pemain musim kompetisi tahun ini masih belum lunas 25%. Duh …

Wacana penyelenggaran Liga Primer Indonesia yang digagas oleh pengusaha Arifin Panigoro memang kontroversial. Bayangkan saja. Seluruh peserta dari kompetisi tersebut akan mendapat pasokan dana sebesar 20 – 30 milyar dari pihak penyelenggara. Jika hal ini dapat terealisasi tentu saja akan dapat memangkas ketergantungan tim peserta pada dana APBD.

Tentu saja ide yang yang digulirkan Bos Medco tersebut mendapatkan resistensi, terutama dari PSSI. Para pengurus PSSI seperti kebakaran jenggot. Menurut mereka mustahil untuk memasok dana sedemikian besar kepada setiap tim. Lagi pula membuat liga tandingan bukan solusi untuk memacu prestasi sepak bola nasional melainkan hanya menyebabkan perpecahan saja. Namun bola panas sudah digulirkan. Kabarnya suda hada 18 tim yang menyatakan kesediaanya untuk mengikuti kompetisi format baru tersebut.

Kita semua tidak tahu maksud Arifin Panigoro memunculkan ide pelaksanaan Liga Primer Indonesia. Apakah dia tulus? Atau apakah ia punya ambisi menggantikan posisi Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI? Yang jelas seorang Nurdin Halid sudah memimpin PSSI selama 7 tahun tanpa ada prestasi secuil pun diraih oleh timnas Indonesia. Keterpurukan, skandal pengaturan skor, dan kekerasan di lapangan antar pemain dan suporter seolah sudah menjadi menĂº makanan sehari-hari. Lagi pula Nurdin juga mantan narapidana. Secara etika, seharusnya ia malu untuk tetap memimpin PSSI.

Rencana Arifin Panigoro memang menarik untuk disimak. Kita tunggu saja …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar