Rabu, 01 September 2010

Nasionalisme, Kemarahan, dan Taufik Hidayat

“Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganyang...
Ganyang... Malaysia
Ganyang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita baja
Peluru kita banyak
Nyawa kita banyak
Bila perlu satu-satu!”


Demikianlah nukilan pidato bersejarah Presiden Soekarno yang diucapkan pada tanggal 12 April 1963 di Jakarta. Pidato tersebut merupakan tanggapan dari aksi para demonstran anti Indonesia di Kuala Lumpur yang menginjak-injak ambang negara Indonesia dan gambar Presiden Soekarno. Memang waktu itu negara kita masih akrab dengan segala keterbatasan Namun meskipun demikian, bangsa ini tetap terlihat gagah, punya harga diri dan tak takut dengan siapa pun.

Romantisme masa lalu itu seakan menjadi pengingat bahwa Indonesia memang pernah bermasalah dengan jirannya yang bernama Malaysia. Ribuan pasukan Indonesia dan sukarelawan pernah bergerak memasuki Kalimantan Utara, menembus keras dan lebatnya hutan Borneo atas nama bela negara. Beberapa sumber melaporkan bahwa 100% Pulau Kalimantan sudah berhasil dikuasai. Namun niat menghantam Kuala Lumpur terpaksa terhambat oleh Pasukan Gurkha yang bersiaga di sepanjang garis pantai Malaysia Timur. Kampanye Ganyang Malaysia pun akhirnya terpaksa usai setelah kekuasaan Presiden Soekarno jatuh ke tangan The Smiling General Soeharto.

Di era Soeharto, hubungan Indonesia – Malaysia bagaikan memasuki fase bulan madu. Berbagai kerja sama bilateral pernah disepakati bersama berdasarkan ikatan emosional bahwa kedua negara merupakan bangsa serumpun. Namun hal tersebut tidaklah mengurangi kharisma Indonesia sebagai negara besar dan sangat disegani, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Waktu itu semua negara ASEAN juga sepakat mendendangkan satu kor kompak untuk menjuluki Indonesia sebaga The Big Brother.

Ambruknya rezim Soeharto di tahun 1998, diakui atau tidak, ternyata membawa Indonesia dalam dimensi keterpurukan yang akut di segala bidang. Reformasi yang menawarkan sejuta perubahan, ternyata sampai detik ini masih belum berhasil mengejawantahkan esensi luhur dari reformasi itu sendiri.

Soekarno memang gagal membangun perekonomian, tapi ia mampu mengajari bangsa ini untuk mempunyai harga diri dan kebanggaan menjadi Indonesia. Rezim Soeharto memang otoriter dan penuh KKN, tapi keamanan negara dan stabilitas ekonomi menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar. Di era reformasi ini, rezim demi rezim telah berganti selama 12 tahun terakhir ini. Tapi apakah salah satu rezim itu mampu menyamai prestasi pendahulunya?

Kita terkejut dan gusar ketika mengetahui kegagalan diplomasi luar negeri kita dalam mempertahankan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Kita cuma bisa ngaplo saat satu persatu produk budaya asli Indonesia diklaim secara sepihak oleh Malaysia. Ketergantungan terhadap negeri itu makin bertambah ketika tercatat ada 2 juta warga Indonesia yang menggantungkan nasibnya untuk mencari nafkah sebagai tenaga kerja di sana. Indonesia yang pernah begitu disegani, sekarang di mata Malaysia lebih dikenal sebagai bangsa perngirim pembokat.

Bangsa ini terlihat tidak mempunyai bargaining power sedikitpun. Hal ini terlihat dengan dilaksanakannya politik barter antara Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan masalah tukar menukar tahanan. Kita berhasil menangkap 7 maling ikan yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Namun nelayan itu “terpaksa” ditukar 3 pengawas kelautan yang ditangkap oleh Polisi Marin Diraja Malaysia di perbatasan perairan Indonesia –Malaysia. Bayangkan…., maling ikan ditukar dengan aparat pemerintahan!

Hati ini terkesima seketika saat Mentri Luar Negri Malaysia memberikan pernyataan provokatif nan angkuh. Meskipun membenarkan telah terjadi tindakan kurang patut terhadap 3 aparat kita, Pemerintah Malaysia merasa tidak perlu untuk meninta maaf terhadap bangsa ini. Sontak peristiwa itu memancing kemarahan beberapa elemen masyarakat yang berujung pada melayangnya kotoran manusia menerpa Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta desertai dengan ancaman sweeping terhadap warga negara Malaysia yang ada di negeri ini.

Peristiwa tak berbudaya itu tentu saja memancing reaksi keras di dalam negeri jiran kita. Pernyaataan Perdana Menteri Malaysia Seri Najib Tun Razak seolah menantang sehingga membuat kita lumayan meradang. Najib mengingatkan bahwa kejadian najis di Kedutaan Besar Malaysia dapat memancing kemarahan rakyat Malaysia. Ia juga seakan bermain kaleidoskop dengan mengingatkan keberadaan TKI yang mengais ringgit di Malaysia beserta dengan besarnya investasi negara jiran tersebut di Indonesia.

Memang sejak tahun 2004 – 2009, investasi Malaysia ke Indonesia telah mencapai USD 1,5 milyar. Ada beberapa perusahaan Malaysia bergaya di Indonesia. Antara lain XL Axiata (telekomunikasi), Air Asia (maskapai penerbangan), Petronas (migas), dan Proton (otomatif). Di bidang perbankan ada Bank CIMB dan BII. Kenyataan ini seolah menjadi credit point tersendiri bagi Pemerintah Malaysia untuk dapat sedikit di atas angin.

Sebagai orang Indonesia, saya merasa gemas dengan tetangga yang satu ini. Namun tindakan melempar kotoran manusia ke Kedutaan Besar Malaysia beserta dengan ancaman sweeping terhadap warga negara Malaysia di Indonesia juga bukan tindakan yang berbudaya. Opsi perang pun juga sebaiknya tetap ditempatkan di posisi paling akhir. Bila kita bersikeras untuk tetap mengangkat senjata sama saja dengan membawa bangsa ini ke dalam permasalahan baru.

Kenangan akan semangat patriotik ala Soekarno di masa lalu memang mampu menggiring adrenalin kita untuk melakukan hal serupa. Peran media dalam mengulas isu ini juga terlihat bagai katalisator yang memicu emosi kita sebagai anak bangsa. Dalam kondisi yang memanas ini, memang terasa merdu bila mendengarkan amsal Romawi Kuno yang mengatakan, “bila Anda menghendaki damai, persiapkanlah peperangan.” Namun saya pikir untuk menghadapi Malaysia perlu diambil langkah-langkah bijak dan tidak perlu mengumbar kemarahan. Gemas dan jengkel ok, tapi pikiran dan tindakan harus rasional.

Pidato yang disampaikan Presiden Yudhoyono semalam memang menuai banyak kecaman. Walau disampaikan langsung dari Markas Besar TNI, tapi banyak pihak menilai terlalu lembek, normatif, dan kurang sangar. Tapi memang harus begitulah seorang negarawan harus bersikap. Tenang, elegan, sambil mempertimbangkan banyak sisi. Kiranya perlu diingat apa yang pernah dikatakan oleh Sir Winston Churchill semasa Perang Dunia II. Katanya: sekali seorang negarawan menabuh genderang perang, dia tidak dapat lagi jadi tuan atas keputusannya, malah jadi budak bagi kejadian yang tak teramalkan dan tak terkendalikan.

Ini bukan berani atau tidak melawan Malaysia. Saya 500 % yakin tentu Indonesia sangat berani dan mampu menghajar Malaysia, negara boneka itu. Tapi perlu dipertimbangkan apakah aksi kekerasan bakal mendatangkan faedah bagi bangsa yang nyaris semaput ini. Bersikap tegas sangatlah berbeda dengan marah-marah sambil meracau tanpa memberikan solusi seperti yang diperlihatkan beberapa LSM dan politisi oportunis di tanah air ini.

Saya ingat peristiwa olahraga beberapa hari yang lalu. Pada babak perempatfinal Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis yang berlangsung di Prancis, jagoan bulu tangkis Indonesia Taufik Hidayat mampu mengalahkan pebulutangkis Malaysia Lee Chong Wei.
Pebulutangkis Malaysia yang juga pebulutangkis nomor 1 dunia itu dipaksa mengakui keunggulan Taufik Hidayat yang sebenarnya sudah tidak lagi berusia muda itu dalam dua set langsung. Tentu berita ini jauh lebih bermartabat dari pada aksi melempar kotoran manusia di Kedutaan Besar Malaysia, bukan?

Kalahkan Malaysia dengan cara yang smart…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar