Kamis, 02 September 2010

Putusnya Urat Malu Para Anggota DPR

Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Charta Politika, para anggota DPR periode 2009 – 2014 ternyata jauh lebih populer jika dibandingkan dengan para anggota DPR periode yang lalu. Intensitas penampilan mereka di berbagai media televisi ternyata menjadi indikator utama bagi mereka supaya dapat dikenal oleh publik. Namur sayangnya, tingginya frekwensi tebar pesona tersebut tidak dibarengi dengan kinerja yang memuaskan.

Kinerja para anggota dewan yang terhormat memang sangat memprihatinkan. Absurdnya perkembangan kasus Century yang diawalnya begitu gagah digulirkan, sering mbolos dalam rapat-rapat penting yang bermuara pada minimnya hasil legislasi, sampai skill mumpuni dalam berdebat berbuntut terproduksi perkataan caci maki nan jorok di kalangan anggota dewan, merupakan beberapa contoh nyata buruknya citra mereka di tengah masyarakat yang sulit terbantahkan.

Belum lagi wacana super kontroversial berupa dana aspirasi di mana setiap anggota dewan berhak mendapat akses keuangan sebesar Rp 15 milliar untuk alasan proyek pembangunan bagi konstituen. Jatah keuangan itu diyakini dapat bertambah sebesar Rp 374 juta per tahun untuk membangun rumah tempat mereka bertatap muka dengan para konstituen. Wow…! Indah benar hidup mereka.

Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa etos kerja para anggota dewan memang kacau balau. Dari target harus menyelesaikan 70 RUU, sampai Juli 2010 ternyata baru terselesaikan sebanyak 7 RUU saja. Namun meskipun demikian, mereka tetap di-back up dengan penghasilan rutin sebesar Rp 59,77 juta per bulan serta perbagai tunjangan tambahan, seperti tunjangan reses, kunjungan kerja, rapat di luar kota, sampai tanda tangan absen rapat pembuatan undang-undang.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat memang merupakan jabatan kenegaraan yang sangat vital kedudukannya dalam iklim demokrasi di negara kita. Di pundak 560 makhluk terpilih itu diletakkan seluruh amanat penderitaan rakyat Indonesia. Mereka memang harus dilengkapi oleh pelbagai fasilitas guna menunjang segala tugas yang dibebankan. Namun di tengah minimnya prestasi kerja, layakkah para anggota dewan menuntut penambahan fasilitas secara berlebihan?

Di manakah rasa malu para anggota dewan jika sepersekian persen hati mereka tiba-tiba mendapat pencerahan untuk sejenak melihat nasib para korban lumpur Lapindo? Apakah para anggota dewan tetap berteriak nyaring menyuarakan nasib guru dan anak-anak putus sekolah yang jumlahnya tak terhitung lagi? Masih adakah anggota dewan yang memperjuangkan nasib para prajurit TNI beserta dengan modernitas peralatan tempur mereka? Ingatkah mereka dengan nasib orang-orang di pedalaman Papua?

Beberapa permasalahan di atas hanya sebagian kecil dari beragam masalah yang mendera bangsa ini. Jauh lebih terhormat untuk memikirkan dan memperjuangkannya dari pada sekedar menuntut pembangunan gedung baru DPR yang biayanya mencapai Rp 1,8 trilyun itu. Konon gedung itu akan dibangun di kawasan mewah Senayan setinggi 36 lantai berbentuk huruf U terbalik. Nantinya gedung itu juga akan dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, tempat spa plus pijat, restoran dan pelbagai fasilitas lain. Penulis jadi heran, ini tempat kerja atau tempat plesir, ya? Kenapa tidak sekalian ditambah dengan fasilats rental DVD, Playstation, bilyar, dan atau bahkan gedung bioskop XXI?

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., memang tidak ada yang salah dengan niat para anggota dewan untuk dapat mendiami gedung baru. Tapi ia menambahkan bahwa hal tersebut dirasa dapat mencederai rasa kepantasan terutama di tengah kondisi bangsa saat ini. Jika di tingkat pusat saja sudah seperti itu, bagaimana di tingkat daerah? Jangan-jangan para anggota dewan di tingkat daerah akan ikut-ikutan latah menuntut pembangunan gedung DPRD setinggi mercusuar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar