Proses perizinan pendirian tempat ibadah (baca: gereja) sering menjadi simpul pemicu pengekangan kebebasan beribadah. Peraturan Bersama Mentri Dalam Negeri dan Mentri Agama yang disusun untuk kebaikan bersama ternyata memberikan ruang multi tafsir

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mendirikan gereja di Republik ini mbuletnya minta ampun. Mahal pula. Jumlah gereja yang suda ada seakan tidak mampu lagi mengakomodasi jumlah penganut Kristiani di Indonesia yang dalam 30 tahun terakhir ini mengalami lonjakan yang cukup tajam. Dari 225 juta rakyat Indonesia, 20 juta di antaranya memutuskan untuk mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Raja.
Untuk menyiasati sulitnya mendirikan rumah ibadah, sering kali jemaat dari beberapa gereja tertentu memilih untuk beribadah di tempat-tempat alternatif. Tempat-tempat seperti mall, hotel, restoran, café dan gedung bioskop disulap menjadi tempat ibadah sementara. Tokh, biaya sewanya jauh lebih murah daripada ongkos birokrasi dan lambannya proses verifikasi pendirian gereja permanen. Apakah hal ini merupakan format yang ideal? Tentu tidak. Beribadah sejatinya ya harus di tempat ibadah.
Saya setuju dengan apa yang dilontarkan oleh Bapak Hasyim Muzadi. Mantan Ketua PB Nahdatul Ulama kemarin menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab sepenuhnya

Peristiwa penganiayaan terhadap Hasean Lumbantoruan Sihombing, Penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi dan Ibu Pendeta Luspida Simanjuntak, yang akan menuju tempat ibadah pada hari Minggu kemarin sungguh sangat memprihatinkan. Patut diduga bahwa aksi tak beradab ini ini bermotifkan kasus penolakan warga setempat terhadap rencana pendirian gereja di tempat itu yang berujung pada kericuhan pada tanggal 8 Agustus 2010 yang lalu. Lambannya pemerintah setempat dan aparat yang terkait dalam menyelesaikan masalah ini ternyata bermuara pada aksi kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban dari pihak jemaat HKBP.
Peran serta para pemuka dan tokoh-tokoh lintas agama dalam menciptakan suasana yang kondusif di kalangan umat sangat diperlukan untuk mengantisipasi tindakan balasan yang sangat mungkin terjadi. Namun yang lebih penting adalah keseriusan Pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Jangan terburu memberi label kejadian ini kriminal murni. Selediki dengan seksama dan tangkap pelaku penusukan tersebut. Tindakan tersebut sangat penting untuk dilakukan untuk menegaskan bahwa sesungguhnya ada kepastian hukum di negeri ini.
Tidak dapat disangkal bahwa akar dari problematika ini adalah Peraturan Bersama Mentri Dalam Negeri dan Mentri Agama yang sering kali dipakai untuk menghambat pendirian rumah ibadah umat agama tertentu. Saya ras perlu ada pengkajian ulang terhadap keberadaan peraturan tersebut. Jika dirasa bahwa peraturan tersebut berpotensi membawa perpecahan dan pertikaian di antara umat beragama, maka bukan hal yang dosa bila peraturan tersebut lebih baik dihapuskan saja.
Catatan khusus bagi orang-orang percaya:
Janganlah kita takut untuk beribadah. Caci maki tidak menghentikan kita. Maut pun tidak lagi menakutkan kita. Bersukacitalah jika engkau dianiaya karena Kristus.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar