Jumat, 10 September 2010

Ketika Prajurit Kritik SBY

Kita tidak pernah nama Adjie Suradji sebelumnya. Tapi nama tersebut mendadak ngetop beberapa hari belakangan ini. Bukan karena ia mengajukan diri menjadi calon alternatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kandidat kuat Kapolri yang baru. Ia terkenal juga bukan karena menjadi tersangka perampokan beberapa bank belakangan ini. Nama tersebut menjadi bahan perbincangan atas keberaniannya menulis kritikan. Yang menjadi sasaran tembak kritikannya pun juga tidak main-main, orang nomor satu di negeri ini: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di era reformasi ini, mengritik itu masalah biasa. Semua orang seakan bebas memberikan kritikan. Hampir setiap hari melalui layar televisi, surat kabar, blog, atau pun situs jejaring sosial kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki tabiat mengritik. Kata orang bijak, kritikan mencelikkan mata. Lebih mulia dari sekedar pujian. Namun saat ini, orang seakan tak perduli lagi apakah kritikan itu membangun atau tidak. Yang jelas mengritik itu bukan lagi produk haram seperti di era Orde Baru dulu. Siapa pun bebas untuk mengritik dan dikritik.

Memberikan kritikan itu lumrah. Yang menjadi istimewa adalah apabila kritikan itu disampaikan oleh seorang Kolonel Penerbang Angkatan Udara yang masih aktif dalam dinas ketentaraan kepada panglima tertingginya. Apalagi kritikan dalam bentuk artikel itu dimuat di surat kabar nasional sekaliber Kompas edisi 6 September 2010 dengan judul Pemimpin, Keberanian dan Perubahan.

Kita tahu bahwa tidak ada yang namanya demokrasi dalam angkatan bersenjata. Sama sekali tidak disediakan ruang bagi bawahan untuk mengritik atasannya. Yang ada adalah ketaatan total bagi seluruh prajurit tanpa terkecuali terhadap perintah sang komandan. Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Presiden Indonesia adalah Panglima Tertinggi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebagai anggota Anggota Angkatan Udara yang masih aktif, tentulah Kolonel Adjie Suradji tahu akan hal ini. Apalagi ia juga terikat dengan sumpah prajurit. Pertanyaannya, mengapa Kolonel Adjie Suradji bertindak senekat itu? Apakah ia tidak takut karir militernya mandeg di tengah jalan?

Sesuai dengan sudut pandang etika dan disiplin keprajuritan, perbuatan Adjie Suradji sangatlah tidak bisa dibenarkan. Bila ingin memberikan kritikan kepada Presiden, ia tidak sepatutnya mencantumkan identitasnya sebagai anggota Angkatan Udara. Ini murni pendapat pribadi dan bukan pendapat umum institusi.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menjadi bempernya Presiden Yudhoyono. Presiden tetap perlu untuk terus diingatkan bila dianggap tidak mampu menjaga etos kerjanya dengan baik. Namur aturan main tetap perlu untuk ditegakkan. Angkatan Bersenjata Indonesia harus tetap konsisten dan solid melakukan bagiannya untuk menjaga kedaulatan bangsa sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bila ingin mengritik, lepaskan dulu seragam ketentaraannya dan marilah bergabung dengan Indonesia civil society untuk memberikan pendapat dan kritikan yang logis dan beradab.

Namun kita tetap harus mencermati fenomena Adjie Suradji ini. Bila seorang kolonel yang tahu aturan sampai memberanikan diri mempertaruhkan karir dan batang lehernya untuk mengritik Sang Presiden, tentu ada sesuatu yang istimewa. Tersumbatnya saluran komunikasi antara rakyat dan presidennya bisa jadi merupakan salah satu penyebab utamanya. Apalagi substansi dari tulisan tersebut mengarah langsung pada pribadi Presiden Yudhoyono.

Berikut nukilan kritikan Kolonel (Penrb.) Adjie Suradjie yang langsung menohok Presiden Yudhoyono.
Untuk menciptakan perubahan (dalam narti positf), tidak diperlukan pemimpin yang sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi resiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil resiko, bekerja dengan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain (Kompas 6 September 2010).

Bagaimana tanggapan SBY?

Beberapa pengamat politik berpendapat bahwa Presiden tidak perlu menanggapi permasalahan ini. Kapasitas kepresidenan dianggap terlalu besar untuk hanya menyikapi isu tersebut. Tapi ternyata pada acara buka puasa bersama antara Presiden dan para pemimpin media/pers Indonesia di Istana Negara pada tanggal 8 September 2010, Presiden merasa perlu untuk memberikan tanggapan terhadap 8 isu pokok yang sedang dihadapi bangsa. Istimewanya, kasus Adjie Suradji menempati urutan nomor 2 dalam pembahasan Presiden malam itu.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Efendi Ghazali, menganggap pemaparan Presiden dalam acara buka puasa bersama itu tidak memberikan implikasi apa pun mengingat momen penyampaiannya yang tidak tepat. Namun menurut saya, apa yang disampaikan Presiden tetaplah menjadi suatu hal yang penting. Paling tidak untuk memuaskan rasa ingin tahu publik terhadap permasalahan yang saat ini tengah tumbuh dan berkembang. Apalagi Presiden kita yang sekarang ini menganut strategi politik pencitraan sehingga sangat dirasa penting bagi beliau untuk selalu mengondisikan dirinya dalam gradient pencitraan yang positif.

Bila di mata Presiden kasus Adjie Suradji dianggap layak untuk dikemukakan di Istana Negara, maka terlebih penting lagi bagi beliau untuk mencermati isi kritikan itu. Presiden tidak boleh hanya menanggapinya dari unsur ketidakpatutan tingkah laku seorang prajurit terhadap panglimanya. Kolonel (Penrb.) Adjie Suradjie hampir pasti akan mendapatkan sanksi atas keberaniannya. Karir militernya pun juga kemungkinan besar akan macet sampai di sini. Namun ia jauh lebih bermartabat daripada para anggota DPR yang melacurkan dirinya demi jabatan dan kekuasaan. Gaung kritikannya telah jauh lebih bergema dari teriakan fals para politikus di Senayan sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar